Di summer break ini dosen-dosen saya pada berlibur keliling dunia, dan merayakan Natal di tempat mereka berlibur.
Tapi teman Indonesia saya, seorang peneliti LIPI yang balajar S2 di universitas yang sama, punya satu profesor yang tidak ke mana-mana liburan ini. Sebut saja namnya Prof KD. Jika anda membaca judul publikasi ilmiah Prof KD di jurnal internasional, anda akan kecapekan sendiri, sebab ada 204 jurnal yang mana dia menjadi penulis pertama. Dia tidak menuliskan di internet jurnal-jurnal di mana dia menjadi penulis ke dua dan seterusnya. Terlalu banyak, “menyakitkan mata.”
Teman saya diundang datang pada hari lebaran mereka ini. Saya diajak bergabung. Saya akan menceritakan bagaimana cara yang ditempuh Prof KD untuk melakukan pendekatan kepada mahasiswanya.
Sesuai adat orang barat, teman saya menghubungi Prof KD apakah boleh ngajak teman. Juga memberitahu bahwa kami berdua adalah muslim yang tidak makan ini-itu dan tidak minum ini-itu. Prof KD juga diberitahu bahwa kami tidak membawa pakaian renang seperti yang dimintanya, karena kami tidak punya. Prof KD mengatakan semua itu bisa diatur.
Sebagai pihak yang diundang, kami harus mengatakan hal-hal tersebut di awal, sebagaimana adat orang barat. Tentang makanan misalnya, jika tidak dikatakan sejak awal, bisa saja mereka memasak sesuatu yang tidak halal. Mereka akan tersinggung jika kita tidak mau makan. Mereka akan bertanya, “kok tidak bilang dari kemarin?”
Sehari sebelumnya kami sudah konfirmasi akan datang. Konfirmasi adalah bagian penting dalam menyambut undangan orang barat. Setelah konfirmasi, kehadiran kami menjadi tanggungjawab kedua belah pihak. Sebagai contoh, teman saya mengatakan akan mempelajari jalur bus ke rumah Prof KD, sebab rumahnya berada jauh di pantai, sedangkan kami belum pernah ke sana. Mengetahui calon tamunya agak kesulitan untuk datang, Prof KD mengatakan akan menjemput, karena kehadiran kami kini jadi tanggung jawab kedua pihak.
Tapi selaku orang Indonesia yang tidak bisa membuat orang susah (walaupun dalam budaya barat hal seperti itu tidak menyusahkan, lumrah), kami katakan bisa datang sendiri naik bus.
Beruntung e-government telah diterapkan dengan baik. Dengan mudah kami menemukan jalur bus ke daerah ‘antah-berantah’ itu lewat internet. Kami bahkan tahu jam berapa bus lewat di samping rumah saya, ke mana arahnya, nanti disambung dengan bus apa, di mana menunggu, dan jam berapa bus sampai di tujuan, dll. Semua itu sudah terjadwal, dan tidak pernah meleset. (Untuk melihat kisah-kisah saya tentang penerapan e-government di Australia, silahkan masuk ke “belajar menulis” lalu pilih “surat dari tenggara.”)
Namun Prof KD masih khawatir. Ketika kami menunggu bus kedua, teman saya ditelepon. Lagi-lagi dia menawarkan jemputan. Kami bilang bisa lakukan sendiri.
Benar saja, kami sampai di depan pintu rumahnya tepat pada jam yang diperkirakan saat membaca jadwal di internet.
Rumah Prof KD sungguh mewah. Berlantai dua dan menghadap ke laut. Semakin menakjubkan karena posisi rumah agak tinggi sehingga bisa memandang lepas ke laut. Luar biasa. Pasti rumah itu sangat mahal. Tapi saya tidak heran, karena gaji professor di negeri ini sangat-sangat tinggi. Profesor yang baru diangkat digaji minimal $ 120 ribu dolar setahun, alias Rp. 80 juta sebulan. Saya tidak tahu berapa gajinya selaku profesor senior. Dengan gaya hidup mewah pun mereka sulit menghabiskan gajinya. Maka tidak terlalu sulit bagi mereka membeli rumah di kawasan mewah seperti ini, plus mobil-mobil mewah. Pikiran saya dengan centilnya membandingkan dengan gaji profesor di tanah air yang hanya 2,7 juta sebulan (sumber: Kompas). Kalau tidak main proyek, terpuruklah hidup profesor di tanah air. Belum lagi beban mental dan sosial selaku penyandang gelar guru besar.
Pintu dibuka seorang pria separuh baya. Dia hanya menggunakan handuk, sepertinya baru berenang. Saya kira dia adalah Prof KD. Rupanya tidak, dia adalah teman Prof KD; undangan yang datang lebih awal. Sebut saja namanya KS, seorang akuntan senior.
Kami masuk dan menemukan Prof KD sedang memasak sesuatu di dapur yang ditata seperti bar mini. Walaupun berdampingan dengan ruang tamu, keindahan dapur tidak merusak, bahkan membuat lebih artistik. Di sana sudah ada tamu lain, seorang pemuda dari China, sebut saja namanya J dan seorang laki-laki dari Italia bernama M.
Saya terkesan melihat Prof KD di dapur. Profesor dengan reputasi sehebat itu, dengan kekayaan sebesar itu, masih saja mau masak sendiri, tidak merasa perlu mencari pembantu.
Dia mengucapkan selamat datang dan menawari kami mau minum champagne atau jus buah. Tentu kami memilih jus buah, karena champagne mengandung alcohol.
Rupanya di rumah mewah itu Prof KD hidup sendiri. Walaupun saya diserang rasa ingin tahu, tapi menanyakan hal tersebut adalah tidak sopan. Saya menduga dia sudah berpisah dengan keluarganya, atau bahkan belum pernah berkeluarga sama sekali.
KS yang tadi membukakan kami pintu berperan sebagai tuan rumah kedua. Dia beramah tamah dengan kami sambil minum. Lalu kami diajak naik ke lantai dua. Dari balkon kami memandang ke arah laut. Sungguh memesona. Pemandangan yang luar biasa indahnya. Posisi rumah sebagus itu pasti membuat harganya lebih mahal dibanding rumah sejenis di lokasi lain.
Ketika kembali turun, kami menemukan dan berkenalan dengan empat tamu lain. Prof KD kemudian mempersilahkan kami melihat-lihat. Kami masuk ke ruang baca, di sana terdapat berbagai macam majalah. Sepertinya ini ruang baca santai. Lalu ke ruang TV, di mana sebuah TV plasma yang ukurannya separuh dinding rumah saya terletak. Di samping TV ada banyak CD-CD film.
Di sebelahnya adalah ruangan kerja Prof KD. Banyak buku, kertas-kertas, laptop, dan perlatan kerja lainnya. Di ruang belakang kami menemukan sebuah piano tua. Ruangan piano tersambung ke lorong-lorong yang kami perkirakan kamar tidur. Kami tidak berani ke sana.
Keluar dari pintu belakang kami masuk ke taman terbuka, dikelilingi pagar tembok tinggi. Di tengah taman ada kolam renang ukuran sedang. Di samping kolam renang ada rumah-rumahan beratap tenda. Rumah kecil ini dilengkapi tempat membakar ayam, roti, dll. Sepertinya inilah tempat Prof KD bersantai bersama teman-temannya. Kolam renang dilengkapi pengatur suhu dikendalikan energi surya.
KS datang dan menawarkan kami mandi. Kami menolak halus dengan alasan tidak bawa pakaian renang. Dia pergi, dan datang lagi dengan pakaian renang dan handuk. Kami tak kuasa menolak. Saya pun mencebur ke kolam renang. Kolam itu sebenarnya diisi air segar, tapi rasanya asin. KS menjelaskan bahwa kolam sengaja diberi garam karena bagus untuk kulit. Kami pun kecipak-kecipuk di kolam rumah mewah itu.
Tengah asik berenang, KS datang memberitahu makan siang sudah siap. Dia berpesan supaya kami tidak perlu ganti pakain, repot. Tapi kami adalah orang Indonesia tulen, tidak sopan makan jika tidak berpakaian lengkap.
Di meja makan, kami hanya menemukan piring untuk 6 orang dan beberapa panci. Rupanya sebagian tamu yang tadi mampir adalah para tetangga. Mereka sudah pergi. Tinggal kami berenam. Dalam hati saya berpikir, makan ala orang barat pasti tidak kenyang, buktinya hanya ada sedikit makanan di meja makan. Padahal perut terasa lapar sehabis berenang.
Setelah semua orang duduk, Prof KD menuangkan bubur terbuat dari gandum dan dicampuri dengan bumbu-bumbu dari tumbuhan ala vegetarian. Kami lalu melahap makanan itu. Saya campur dengan roti supaya lebih kenyang. Saya minta cabe supaya lebih nikmat. Prof KD mengatakan cabe miliknya adalah jenis terpedas di dunia. Dia mengingatkan saya supaya mencoba sedikit dulu. Ternyata ukuran pedas menurut orang bule tidak sama dengan pedas menurut saya. Lidah Sumatera saya minta lebih, tiga kali lipat dari ukuran yang membuat mereka jingkrak-jingkrak karena kepedasan. Itu pun hanya memberi saya sedikit rasa pedas. Prof KD, KS, M, dan J tercengang. Mereka memberi saya gelar The Sumatra Tiger untuk prestasi itu. Setelah bubur habis, saya masih merasa lapar dan berencana makan lagi begitu pulang ke rumah.
Tapi saya salah sangka. Rupanya yang tadi adalah makanan pembuka. Prof KD dan KS kemudian memberesakan meja dan membawa banyak makanan lain. Kali ini sebuah tempayan besar berisi udang galah. Di tempayan besar lain ada ikan yang panjangnya setengah meter. Ada juga dua mangkok besar kentang panggang dicampur bermacam-macam yang entah apa namanya. Juga ada mangga dicampur sejenis kuah. Prof KD menjelaskan bahwa udang itu khusus didatangkan dari sebuah daerah berjarak 600 km dari tempat tersebut. Sedangkan ikan salmon besar itu didatangkan dari Selandia Baru. Dia juga menjelaskan semua makanan lain, campurannya dan cara memasaknya. Intinya, semuanya halal dan dipesan khusus untuk kami. Kami merasa sangat diistimewakan. Sebagai hasilnya, saya makan lahap sekali. Sungguh enak. Gurihnya udang, bercampur nikmatnya ikan salmon dipadu dengan kentang panggang plus mangga berkuah manis, ditambah sambel sungguh pas di lidah dan perut lapar saya. Inilah makanan terenak saya rasakan sejak berada di benua ini.
Begitu selesai dengan menu utama, tamu bertambah dua orang. Juga sepasang ilmuwan. Suaminya profesor Biologi, istrinya ilmu kelautan. Di meja makan kini ada tiga professor terkemuka. Berulan-ulang mereka mengangkat gelas champagne dan kami mengangkat gelas jus buah, toast.
Karena ada makanan pembuka dan utama, tentu ada makanan penutup. Begitu yang sering saya lihat di film-film. Benar saja. Di meja setelah itu ada kue panggang besar, sejenis kue bolu tapi besar. Di masak di dalam oven dengan suhu sedang selama 6 jam. Warnanya coklat. Prof KD menjelaskan campuran roti itu. Lalu dia menyiramkan susu kental di atasnya. Piring kami masing-maisng diisi satu potongan besar. Nyam-nyam, enak. Bagi yang mau nambah, di meja masih banyak. Tinggal ambil.
Setelah menghabiskan makanan penutup, saya masih mau. Tapi perut saya benar-benar sudah penuh. Saya putusakan berhenti. Jika tidak bisa timbul masalah.
Acara selanjutnya adalah berenang. Semua orang mesti berpartisipasi. Tapi J yang orang China tidak bersedia walaupun sudah dipaksa, alasannya dia punya masalah kulit.
Berenang kali kedua jauh lebih asik, karena ramai. Di kolam terdapat tiga orang professor, dua orang mahasiswa, satu orang pengusaha, dan satu orang akuntan. Saya senang. Berenang adalah hobi saya. Canda demi canda membuat dua jam di dalam kolam tidak terasa. Saat berenang, kami makan buah cheri yang diletakkan di piring-piring kecil di pinggir kolam. Sesuatu yang hanya pernah saya lihat di film-film. Saat itu saya menyadari betapa ramah dan baiknya mereka, padahal mereka tidak pernah mengaji….
Lalu tibalah waktunya bagi kami untuk pamit karena harus mengejar bus. Tuan rumah melarang. Kami diminta jangan memikirkan bus karena mereka akan mengantar kami pulang. Tapi kami menolak. Tidak enak membuat mereka berjalan sejauh itu. Dengan mobil pribadi paling tidak perlu waktu dua jam pulang-pergi. Karena kami terus menolak diantar, mereka memberi alternatif kami diantar J dengan mobilnya sampai ke terminal bus. Kami bersedia, lalu kembali menyebur ke kolam renang. Mereka senang dan meminta saya berenang dari satu ujung ke ujung lain. Kecil. Saya pun diberi tepukan.
Saat tiba waktunya kami harus pulang, tuan rumah tidak bisa melarang lagi, karena kali ini kami tidak bisa dibujuk. Mereka melepas kami dengan memperlihatkan muka enggan berpisah. Kami disuruh berjanji akan kembali dan memasak masakan Indonesia untuk mereka. Kami pulang setelah mendapat pelukan hangat ala lebaran mereka. Tapi karena kami muslim mereka tidak mengcapkan “merry Christmas,” tapi diganti dengan “happy holiday.”
************
Satu pelajaran berharga yang saya dapatkan hari itu adalah tentang menjadi tuan rumah yang baik. Prof KD memposisikan dirinya ibarat panitia sebuah acara, dan kami adalah para peserta agung acara itu. Sebagai panitia dia sudah punya susunan acara yang padat untuk para tamunya, sehingga kami sebagai tamu merasa lima jam di sana berlalu dengan cepat, tidak ada waktu kosong, tidak membosankan sedikitpun. Prof KD mempersiapkan sesuatu secara maksimal.
Mengundang mahasiswa seperti ini lumrah dilakukan dosen-dosen di negeri ini. Bahkan saya mendapat cerita bahwa universitas memberi mereka budget untuk melakukan itu. Gunanya adalah supaya dosen mendekatkan diri kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak merasa ada jarak dengan dosen. Jika hubungan dosen-mahasiswa sudah berubah menjadi pertemanan, maka mahasiswa tidak akan segan-segan konsultasi ke dosen jika mengalami masalah dalam studi. Memang mereka membuat studi Master dan PhD sangat berat. Sehingga untuk melewati itu diperlukan hubungan khusus antara mahasiswa dan dosen supaya keduanya bisa bekerja sama untuk kesuksesan mahasiswa dalam studi.
Kini, teman saya makin mantap memanggil Prof KD dengan nama depannya, bukan dengan sebutan professor atau nama belakang.