Layanan Keamanan (Security Services)

2 09 2008

Hari ini saya mendapat pengalaman yang cukup mencengangkan tentang pelayanan pemerintah dalam menjaga keamanan masyarakat. Begini ceritanya:

Di depan rumah saya ada sebuah kotak surat, dibuat dari batu-bata. Sejak saya tinggal di rumah ini bersama keluarga, kami sering menemukan surat milik orang lain di kotak surat kami. Jumlahnya pun tidak sedikit. Ada sekitar sepuluh nama berbeda (tidak satu pun saya kenal) yang menggunakan kotak surat kami untuk menerima surat. Dari nama-namanya saya tahu bahwa mereka berasal dari Afrika dan China.

Awalnya saya tidak terlalu ambil pusing. Saya pikir, biarlah mereka gunakan kotak surat saya. Tidak ada ruginya buat saya. Tapi kemudian bermasalah juga. Beberapa kali kami menemukan surat-surat untuk kami yang berasal dari bank, dalam keadaan terbuka. Padalah pada saat itu kami menunggu surat dari bank yang isinya adalah kartu ATM beserta kode pin-nya. Tentu tidak aman menerima surat sepenting itu jika banyak orang lain punya akses ke kotak surat kami.

Kami pun minta pendapat pemilik rumah. Dia menyarankan supaya semua surat yang tidak dikenal dimasukkan ke kotak pos. Maka kantor pos akan mengembalikan surat itu kepada pengirimnya. Dan pengirimnya tidak lagi akan menggunakan alamat kami untuk orang tersebut.

Mungkin ada yang tidak happy dengan sikap kami. Pada suatu tengah malam saya mendengar bunyi benda berat jatuh di depan rumah diiringi suara mobil menjauh. Karena sangat mengantuk, saya tidak memeriksa. Esok pagi, istri dan anak saya menemukan kotak surat kami sudah hancur. Puing-puingnya berserakan di tanah.

Kotak Pos setelah dirapikan kembali

Beberapa hari kemudian, ketika pemilik rumah datang memotong rumput, kepadanya saya ceritakan peristiwa itu. Dia merasa sangat terganggu dan berjanji akan menelepon Kantor Keamanan Masyarakat (Community Safety & Security – CSS).

Nah, yang membuat saya tercengang adalah respon dari pihak CSS. Tidak sampai dua jam kemudian mereka datang ke rumah saya, melakukan pemeriksaan kotak surat kami. Mereka bekerja ibarat intelijen yang mengumpulkan data-data kejahatan maha penting. Saya berpikir, “ini kan cuma kotak surat, sepenting itukah?” Tapi begitulah cara mereka memberi rasa aman pada masyarakat. Sebelum pergi mereka meninggalkan kartu nama yang saya scan buat pembaca.

Tampak depan

Tampak belakang

Pada kartu nama di atas tertera informasi bahwa petugas CSS (ditunjukkan kode personel) telah mengunjungi rumah kami sebagai follow-up mereka atas laporan via telepon telepon bapak kost saya. Di sana juga tertera nomor telepon CSS yang siap sedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu jika masyarakat membutuhkan bantuan mereka.

Beberapa pengaduan yang mereka layani antara lain: ganguan kebisingan (misalnya tetangga suka ribut di malam hari), graffiti (ada orang idiot mencoret-coret fasilitas umum), alarm keamanan/api di rumah berbunyi, dll.

Petugas CSS (Foto:City of Melville)

Apa sebenarnya CSS ini? Mereka tidak lebih adalah apa yang dikenal di Indonesia sebagai Satpam. Mereka bekerja untuk pemerintah setingkat kecamatan (di sini namanya City atau County atau Shire. Sebagai contoh, karena saya tinggal di City of Melville, petugas CSS yang datang tersebut adalah petugas dari CSS City of Melville. Jika anda tertarik lebih jauh dengan peran mereka, silahkan buka http://www.melvillecity.com.au/community/comm-security-service.

Pengalaman ini menimbulkan pertanyaan dan harapan, semoga pemerintah di negara saya, suatu saat nanti, juga mampu memberikan pelayanan keamanan dan memberikan rasa aman kepada masyarakatnya, seperti ini. Amin.





Menyambung Listrik dan Gas (Electricity and gas connection)

16 01 2008
Kisah 1

120.jpgSeorang teman saya membeli (kredit) rumah di sebuah perumahan tahun 2005. Dia mengeluh belum bisa pindah karena listrik belum tersambung ke rumahnya. Pihak developer tidak bisa memberikan jawaban pasti. Dengar-dengar PLN belum bisa menyambung listrik karena kemampuan pembangkit terus menurun.

Tapi ada alternatif lain yang ditawarkan kepada teman saya dan para tetangganya. Jika mereka bersedia membeli tiang listrik, kabel dan trafo, sambungan dapat dilakukan seketika. Sudah jelas ini bukan pilihan mudah, sebab harga trafo, tiang dan kabel tersebut mencapai ratusan juta rupiah. Setiap kepala keluarga mesti menyumbang hampir sepuluh juta di luar biaya penyambungan. (Foto kiri: lambang PT. PLN, sumber: Indokajaya)


Kisah 2

Saya punya kebiasaan membayar listrik sekali dua bulan dan membayar dua bulan sekaligus. Tidak pernah ada masalah, sebab saya bersedia membayar denda. Bagi saya membayar denda karena terlambat lebih menguntungkan dibandingkan harus datang setiap bulan ke tempat pembayaran. Lagipula, peraturan membenarkan terlambat 1 bulan, asal membayar denda.

Suatu hari saya mengganti jadwal pembayaran. Kali itu saya membayar 15 hari lebih cepat, bukan menunggu 30 hari seperti biasanya. Karena tagihan bulan kedua belum jatuh tempo, saya bermaksud hanya membayar tagihan bulan pertama. Tapi petugas loket tidak membolehkan. Saya diharuskan membayar tagihan bulan pertama dan kedua, padahal tagihan bulan kedua jatuh tempo 15 hari lagi. Mereka tidak menerima alasan saya. Mereka bahkan saling membantu memperkuat argument (ada tiga orang). Saya bertanya mengapa telat 30 hari boleh, tapi telah 15 hari tidak boleh? Mereka menjawab bahwa ada aturannya di halaman belakang slip pembayaran. Namun setelah saya baca, saya tidak menemukan aturan yang mereka sebut. Lalu mereka berkilah, bahwa sebenarnya itu aturan khusus loket tersebut. Tapi mereka tidak bisa menunjukkan bukti tertulis aturan itu saat saya minta. Mereka malah mencari alasan baru, bahwa itu adalah peraturan lisan kepala loket tersebut. Tentu saya tidak bisa menerima bahwa peraturan lisan kepala loket pembayaran bisa mengalahkan peraturan tertulis PLN yang berlaku secara nasional. Tapi manalah bisa saya menang menghadapi orang seperti ini. Bagi mereka argumen tidak laku, yang laku hanyalah ‘kemauan’ mereka. Pelanggan tidak punya hak berkata “tidak.”

Mereka lalu mengatakan tidak bersedia menerima pembayaran satu bulan disertai ancaman bahwa ada kemungkinan listrik rumah saya diputus. Saya mengalah, karena berdebat dengan orang seperti ini tiada gunanya. Walaupun saya benar secara hukum, tapi saya tidak punya waktu untuk berperkara.

Kisah 3

Kisah satu ini lebih aneh lagi. Suatu hari, ketika di kantor, saya ditelepon dari rumah. Ada dua orang dari PLN datang untuk memutuskan listrik. Saya terkejut karena saya baru telat membayar tiga hari. Padahal biasanya (dan menurut peraturan), pembayaran boleh telat 30 hari. Lagi pula, biasanya saya membayar sekali dua bulan dan tidak pernah ada masalah. Saya minta bicara dengan orang PLN tersebut. Saya katakan hal tersebut kepada orang PLN yang datang. Tapi mereka bilang bahwa sekarang peraturannya sudah berubah. Saya katakan bahwa saya belum mendapat pemberitahuan atas peraturan baru itu. Dengan ketusnya, mereka menjawab, “ini kan sudah saya beritahu sekarang?” Saya terbengong-bengong sendiri mendapat jawaban itu. Begitulah caranya BUMN satu ini melakukan sosialisasi peraturan. Orang itu juga “mengancam,” bahwa jika besok pagi di data mereka belum ada bukti pembayaran saya, maka pemutusan listrik tidak bisa ditunda. Mereka juga mengingatkan bahwa untuk melakukan penyambungan kembali mesti mengikuti prosedur sebagaimana penyambungan pertama kali; mesti masuk waiting list (menunggu tanpa kepastian), dan membanyar sekitar 5 juta. Saya paham bahwa semua itu adalah bohong, argument mereka sangat lemah, dan hanya akal-akalan mereka menakut-nakuti saya. Ke pengadilan mana pun dibawa, mereka pasti kalah. Tapi saya juga paham orang seperti ini tidak bisa disadarkan dengan peraturan dan argumen. Jika saya menolak membayar, mereka benar-benar akan membuktikan ancamannya. Walhasil, saya akan repot. Akhirnya saya mengalah dan hari itu saya bayar. Bulan-bulan berikut saya bayar lagi sekali dua bulan, tidak ada masalah.

Kisah 4

Suatu hari saya membaca di Koran lokal bahwa seorang mantan pejabat kota pingsan saat antri membayar tagihan listrik yang panjang.

Semua kisah di atas adalah cerminan betapa rumitnya administrasi kelistrikan di tanah air, dan betapa sewenang-wenangnya pihak PLN terhadap pelanggan. Andai bisnis listrik tidak dimonopoli, andai ada pilihan lain, PLN terancam kehilangan pelanggan.

Kisah berikut masih tentang pelayanakan perusahan listrik. Tapi lokasinya bukan di Indonesia.

Kisah 5

118.gifSaya bermaksud pindah rumah 1 Februari 2008. Setengah bulan sebelum pindah saya membuka website perusahaan listrik setempat, bernama Synergy. Maksud saya adalah untuk mendaftar sambungan listrik atas nama saya. Sebenarnya ada cara lain untuk mendaftar, yaitu menelepon. (Foto kiri: lambang Synergy, sumber: Synergy)

Saya hanya perlu sekitar 5 menit untuk mendaftar. Dua hari setelah itu, saya mendapat email bahwa pendaftaran saya sudah disetujui, dan listrik atas nama saya mulai aktif pada tanggal yang saya inginkan. Biaya pendaftaran akan ditambahkan ke tagihan pertama saya, dua bulan setelah account saya aktif (karena pembayaran listrik sekali 2 bulan). Besar biaya pendaftaran adalah $30 (sekitar 5 kali makan di warung). Selesai. Tidak ada daftar tunggu, tidak ada beli trafo/tiang/kabel, tidak ada antri, tidak ada surat-surat.

Untuk pembayaran, saya bisa lakukan dengan dua cara; yaitu pembayaran online via internet atau membayar langsung ke kantor pos. Jika terlambat membayar 1 bulan, akan ada surat pemberitahuan (diberi waktu 2 bulan untuk membayar). Jika dalam 2 bulan belum dibayar juga, akan datang surat kedua (diberi waktu 1 bulan untuk membayar). Jika belum juga dibayar, akan ada pemberitahuan ketiga (diberi waktu 15 hari untuk membayar). Jika belum dibayar juga, akan datang surat keempat, bahwa listrik akan diputuskan jika pembayaran tidak dilakukan dalam seminggu. Mereka tidak pernah tiba-tiba datang ke rumah memutuskan listrik.

Selain itu, ada juga kemudahan lain, pembayaran dapat diangsur.

Kisah 6

119.gifKarena saya ingin pindah rumah, saya tidak hanya perlu memasang listrik, tapi juga perlu gas. Saya perlu menghubungi perusahaan gas, namanya Alinta. Yang saya lakukan persis sama dengan pendaftaran listrik; buka internet, isi formulir, selesai. (Foto kiri: lambang Alinta Gas, sumber: kanyanwildlife).

Pembayaran gas juga dilakukan sekali dua bulan; online atau lewat kantor pos.

Bagaimana kalau suatu saat nanti saya pindah lagi ke rumah lain? Tidak ada masalah. Saya hanya perlu menelepon atau menengirim email ke perusahaan listrik dan gas, mengatakan bahwa saya ingin listrik dan gas diputus pada tanggal yang saya inginkan. Penghuni baru yang menempati rumah itu akan melakukan pendafataran sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya.

Gampang dan menyenangkan. Inilah yang disebut “pemerintah adalah pelayan raykat.”

Untuk memberi komentar atas tulisan ini, silahkan klik di samping Comment di bawah ini.





Hak Mahasiswa

1 01 2008

111.jpgSaya tertarik menulis tentang topik ini setelah membaca berita di Detik Com 31/12/2007 berjudul “Mahasiswa Hilang di Gunung Agung, Kampus Panggil Ortu.

Berita tersebut menceritakan tentang tiga mahasiswa sebuah universitas swasta di Bandung yang hilang ketiga mendaki Gunung Agung, Bali. Orang tua ketiga mahasiswa diundang pihak universitas ke Bandung. (Foto kiri: http://www.viewimages.com)

Menurut Humas univeritas, tujuan pemanggilan orang tua korban adalah untuk menentukan langkah selanjutnya. Para orang tua yang diundang belum memberi jawaban, karena mereka tinggal jauh dari bandung: di Banten, Jakarta, dan Bukit Tinggi.

Sementara itu, teman-teman korban sesama pengurus Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) universitas tersebut sudah bertolak ke lokasi hilangnya anggota mereka di Gunung Agung, Bali via jalur darat dan udara.

Setelah membaca berita ini, saya teringat sebuah anekdot lama. Diceritakan dalam sebuah penerbangan terdapat tiga orang sahabat, masing-masing berasal dari Amerika, Jepang dan Indonesia. Pesawat tiba-tiba mengalami kerusakan. Pilot mengumumkan kondisi tersebut dan mengaku tidak punya solusi. Pilot meminta semua penumpang menyalamatkan diri masing-masing menggunakan parasut yang tersedia, karena pesawat segera meledak.

Si Amerika langsung memasang parasut dan melompat keluar sambil meneriakkan “God Bless America.” Tidak mau terlambat, si Jepang menyusul sambil meneriakkan “Banzaaaiii.’

Saat hendak bersiap-siap melompat, pilot melihat sekelompok orang belum memasang parasut. Mereka berbicara satu sama lain, sambil minum dan makan snack. Pilot menanyakan, “apa yang kalian lakukan, ayo cepat, pesawat segera meledak.” Orang-orang tersebut, yang ternyata adalah orang-orang Indonesia menjawab, “sabar pak, kami musyawarah dan mufakat dulu.”

Berita dan anekdot di atas dapat dihubungkan secara pas. Ketika mahasiswanya hilang, pihak universitas di Bandung tersebut malah memanggil orang tua untuk bermusyawarah. Padahal, yang perlu dilakukan universitas dalam kondisi kritis seperti itu adalah mengambil tindakan langsung. Mereka mesti memastikan bawa tim penyelamat telah melakukan pencarian. Mereka juga perlu membiayai tim penyelamat professional untuk membantu. Terhadap orang tua, universitas sebaiknya menelepon mereka, atau mengunjungi mereka dan mengatakan, “pihak keluarga tenang saja, kami sedang melakukan pencarian, bantu dengan do’a.” Tapi sayang, univeritas tersebut malah mengundang untuk bermusyawarah. Bagaimana bisa bermusyawarah dengan orang tua yang panik? Lalu apa yang akan dimusyawarahkan? Musyawarah bisa menghabiskan waktu 2 hari mengingat tempat tinggal para orang tua yang terpisah. Dalam dua hari, para korban bisa kehabisan bahan makanan di gunung.

Dalam hal ini, univeritas kalah sigap dengan pengurus Mapala yang segera meluncur ke lokasi.

Kasus ini memunculkan pertanyaan, “sebenarnya apa hak mahasiswa di sebuah perguruan tinggi?”

Menurut sistem pendidikan Indonesia, ada tiga alasan berdirinya sebuah perguruan tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, yang dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pendidikan adalah proses belajar-mengajar di mana mahasiswa adalah pihak yang belajar. Penelitian dan pengabdian masyarakat dilakukan oleh dosen dan atau mahasiswa.

112.jpgJelas bahwa mahasiswa memainkan sepertiga peran terpenting di perguruan tinggi. Apakah mahasiswa telah mendapat sesuatu yang sepadan dengan posisi mereka dari pengelola perguruan tinggi? (Sumber foto kiri: http://www.intisar.edu.my).

Sebagian perguruan tinggi masih memperlakukan mahasiswa sebagai objek, tidak berdaya, mesti mengikuti semua keinginan dosen dan pengelola perguruan tinggi. Bahkan yang lebih parah, mahasiswa seolah-olah tidak diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingannya. Akhirnya mahasiswa menciptakan ruang sendiri. Demonstrasi.

Jika mahasiswa terlambat masuk kelas, bisa diusir ke luar oleh dosen. Sebaliknya jika dosen terlambat, selalu ada alasan yang mesti dibenarkan mahasiswa. Jika jumlah kehadiran mahasiswa tidak cukup, yang bersangkutan tidak boleh ikut ujian. Sebaliknya, jika jumlah kehadiaran mengajar dosen kurang, selalu ada alasan membenarkan.

Jika mahasiswa tidak bisa menjawab pertanyaan, dosen kadang-kadang memberi hukuman, nilai jelek misalnya. Tapi saat dosen tidak bisa menjawab pertanyaan mahasiswa, dosen berdalih ‘tidak ada manusia yang tahu segala sesuatu.’

Ketika mahasiswa terlambat membayar SPP, selalu ada hukuman atau denda. Tapi jika saat mahasiswa ingin bayar SPP loket pembayaran tutup, dengan ringannya petugas berkata ‘tadi saya sarapan dulu.’ Jika mahasiswa berkata ‘peralatan praktikum kami tidak ada,’ pengelola perguruan tinggi kadang berkilah ‘tidak ada dana,’ tapi mobil baru untuk para pejabat hilir mudik di kampus. Saat mahasiswa menuntut, ‘berikan kami internet gratis,’ pimpinan menjawab ‘permintaan anda tidak masuk akal,’ padahal selalu ada dana untuk membeli seragam dosen/pegawai.

Terlalu banyak contoh yang bisa diungkapkan tentang ketidakseimbangan peran antara mahasiswa, dosen, pegawai dan pengelola perguruan tinggi ini. Singkat kata, mahasiswa sering menjadi pihak yang tidak berdaya. Sesekali mahasiswa agak kuat ketika demonstrasi beramai-ramai. Tapi secara individu, saat sendiri-sendiri, mereka sering dalam kondisi tertekan. Padahal, semestinya mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi adalahpusat segala perhatian. Pimpinan pergurua tinggi dipilih dan pegawai-pegawai direkrut untuk melayani mereka dalam menuntut ilmu dan melakukan penelitian.

Kalau kita bandingkan dengan mahasiswa di perguruan tinggi negara-negara maju seperti Eropa, Amerika, Australia, Jepang, dll., kondisi malah sebaliknya. Mahasiswa dan dosen di sini adalah ‘pusat segala perhatian” terpenting pimpinan dan pegawai perguruan tinggi.

Pengalaman pribadi saya selaku mahasiswa di salah satu negeri ini membuktikan. Sebagai contoh, jika saya perlu surat, saya cukup menulis email, lalu mereka akan bekerja untuk saya hingga surat tersebut selesai. Ketika saya sakit, mereka punya dokter untuk mengobati saya secara gratis. Saat saya kesulitan mengerjakan tugas, mereka menyiapkan tenaga ahli untuk membantu saya. Ketika saya ingin mencari kerja part-time, mereka mencarikan pekerjaan untuk saya. Saat saya ingin pindah rumah, mereka mencarikan rumah untuk saya. Jika saya mengalami kejenuhan belajar, mereka memberi saya seorang psikolog untuk memotivasi saya. Ketika saya merasa nilai saya mestinya lebih baik daripada yang diberikan dosen, mereka membantu saya mengurusnya. Jika saya perlu software tertentu, mereka carikan untuk saya. Saat saya takut pulang malam dari kampus, atau ingin ke kampus saat sudah malam, mereka punya mobil dan petugas untuk mengantar dan menjemput saya (kisah ini sudah saya bahas di blog ini pada bagian BELAJAR MENULIS, masuk ke SURAT DARI TENGGARA, lalu cari artikel berjudul KEAMANAN KAMPUS).

Yang mengagumkan, semua permintaan saya itu mereka lakukan dengan penuh tanggungjawab dan gembira. Tidak ada kata-kata ketus, helaan nafas, pandangan tajam, muka masam, melambat-lambatkan pekerjaan atau penolakan.

Jika mereka bisa, perguruan tinggi kita mestinya juga bisa. Memang perlu perjuangan berat karena perubahan ini memerlukan revolusi mental para penyelenggara dan pegawai perguruan tinggi yang sudah terbentuk puluhan tahun. Tapi yang jelas, sudah saatnya kita kembalikan mahasiswa ke posisi aslinya, yaitu “satu dari tiga alasan berdirinya perguruan tinggi.” Mereka mestinya menjadi pihak yang dilayani, bukan diabaikan, dikecewakan, apalagi disakiti.

Selaku pemilik masa depan, mahasiswa perlu ketenangan dalam belajar.





Profesor

26 12 2007

105.jpgDi summer break ini dosen-dosen saya pada berlibur keliling dunia, dan merayakan Natal di tempat mereka berlibur.

Tapi teman Indonesia saya, seorang peneliti LIPI yang balajar S2 di universitas yang sama, punya satu profesor yang tidak ke mana-mana liburan ini. Sebut saja namnya Prof KD. Jika anda membaca judul publikasi ilmiah Prof KD di jurnal internasional, anda akan kecapekan sendiri, sebab ada 204 jurnal yang mana dia menjadi penulis pertama. Dia tidak menuliskan di internet jurnal-jurnal di mana dia menjadi penulis ke dua dan seterusnya. Terlalu banyak, “menyakitkan mata.”

Teman saya diundang datang pada hari lebaran mereka ini. Saya diajak bergabung. Saya akan menceritakan bagaimana cara yang ditempuh Prof KD untuk melakukan pendekatan kepada mahasiswanya.

Sesuai adat orang barat, teman saya menghubungi Prof KD apakah boleh ngajak teman. Juga memberitahu bahwa kami berdua adalah muslim yang tidak makan ini-itu dan tidak minum ini-itu. Prof KD juga diberitahu bahwa kami tidak membawa pakaian renang seperti yang dimintanya, karena kami tidak punya. Prof KD mengatakan semua itu bisa diatur.

Sebagai pihak yang diundang, kami harus mengatakan hal-hal tersebut di awal, sebagaimana adat orang barat. Tentang makanan misalnya, jika tidak dikatakan sejak awal, bisa saja mereka memasak sesuatu yang tidak halal. Mereka akan tersinggung jika kita tidak mau makan. Mereka akan bertanya, “kok tidak bilang dari kemarin?”

Sehari sebelumnya kami sudah konfirmasi akan datang. Konfirmasi adalah bagian penting dalam menyambut undangan orang barat. Setelah konfirmasi, kehadiran kami menjadi tanggungjawab kedua belah pihak. Sebagai contoh, teman saya mengatakan akan mempelajari jalur bus ke rumah Prof KD, sebab rumahnya berada jauh di pantai, sedangkan kami belum pernah ke sana. Mengetahui calon tamunya agak kesulitan untuk datang, Prof KD mengatakan akan menjemput, karena kehadiran kami kini jadi tanggung jawab kedua pihak.

Tapi selaku orang Indonesia yang tidak bisa membuat orang susah (walaupun dalam budaya barat hal seperti itu tidak menyusahkan, lumrah), kami katakan bisa datang sendiri naik bus.

Beruntung e-government telah diterapkan dengan baik. Dengan mudah kami menemukan jalur bus ke daerah ‘antah-berantah’ itu lewat internet. Kami bahkan tahu jam berapa bus lewat di samping rumah saya, ke mana arahnya, nanti disambung dengan bus apa, di mana menunggu, dan jam berapa bus sampai di tujuan, dll. Semua itu sudah terjadwal, dan tidak pernah meleset. (Untuk melihat kisah-kisah saya tentang penerapan e-government di Australia, silahkan masuk ke “belajar menulis” lalu pilih “surat dari tenggara.”)

Namun Prof KD masih khawatir. Ketika kami menunggu bus kedua, teman saya ditelepon. Lagi-lagi dia menawarkan jemputan. Kami bilang bisa lakukan sendiri.

Benar saja, kami sampai di depan pintu rumahnya tepat pada jam yang diperkirakan saat membaca jadwal di internet.

1071.jpgRumah Prof KD sungguh mewah. Berlantai dua dan menghadap ke laut. Semakin menakjubkan karena posisi rumah agak tinggi sehingga bisa memandang lepas ke laut. Luar biasa. Pasti rumah itu sangat mahal. Tapi saya tidak heran, karena gaji professor di negeri ini sangat-sangat tinggi. Profesor yang baru diangkat digaji minimal $ 120 ribu dolar setahun, alias Rp. 80 juta sebulan. Saya tidak tahu berapa gajinya selaku profesor senior. Dengan gaya hidup mewah pun mereka sulit menghabiskan gajinya. Maka tidak terlalu sulit bagi mereka membeli rumah di kawasan mewah seperti ini, plus mobil-mobil mewah. Pikiran saya dengan centilnya membandingkan dengan gaji profesor di tanah air yang hanya 2,7 juta sebulan (sumber: Kompas). Kalau tidak main proyek, terpuruklah hidup profesor di tanah air. Belum lagi beban mental dan sosial selaku penyandang gelar guru besar.

Pintu dibuka seorang pria separuh baya. Dia hanya menggunakan handuk, sepertinya baru berenang. Saya kira dia adalah Prof KD. Rupanya tidak, dia adalah teman Prof KD; undangan yang datang lebih awal. Sebut saja namanya KS, seorang akuntan senior.

Kami masuk dan menemukan Prof KD sedang memasak sesuatu di dapur yang ditata seperti bar mini. Walaupun berdampingan dengan ruang tamu, keindahan dapur tidak merusak, bahkan membuat lebih artistik. Di sana sudah ada tamu lain, seorang pemuda dari China, sebut saja namanya J dan seorang laki-laki dari Italia bernama M.

Saya terkesan melihat Prof KD di dapur. Profesor dengan reputasi sehebat itu, dengan kekayaan sebesar itu, masih saja mau masak sendiri, tidak merasa perlu mencari pembantu.

Dia mengucapkan selamat datang dan menawari kami mau minum champagne atau jus buah. Tentu kami memilih jus buah, karena champagne mengandung alcohol.

Rupanya di rumah mewah itu Prof KD hidup sendiri. Walaupun saya diserang rasa ingin tahu, tapi menanyakan hal tersebut adalah tidak sopan. Saya menduga dia sudah berpisah dengan keluarganya, atau bahkan belum pernah berkeluarga sama sekali.

106.jpgKS yang tadi membukakan kami pintu berperan sebagai tuan rumah kedua. Dia beramah tamah dengan kami sambil minum. Lalu kami diajak naik ke lantai dua. Dari balkon kami memandang ke arah laut. Sungguh memesona. Pemandangan yang luar biasa indahnya. Posisi rumah sebagus itu pasti membuat harganya lebih mahal dibanding rumah sejenis di lokasi lain.

Ketika kembali turun, kami menemukan dan berkenalan dengan empat tamu lain. Prof KD kemudian mempersilahkan kami melihat-lihat. Kami masuk ke ruang baca, di sana terdapat berbagai macam majalah. Sepertinya ini ruang baca santai. Lalu ke ruang TV, di mana sebuah TV plasma yang ukurannya separuh dinding rumah saya terletak. Di samping TV ada banyak CD-CD film.

Di sebelahnya adalah ruangan kerja Prof KD. Banyak buku, kertas-kertas, laptop, dan perlatan kerja lainnya. Di ruang belakang kami menemukan sebuah piano tua. Ruangan piano tersambung ke lorong-lorong yang kami perkirakan kamar tidur. Kami tidak berani ke sana.

Keluar dari pintu belakang kami masuk ke taman terbuka, dikelilingi pagar tembok tinggi. Di tengah taman ada kolam renang ukuran sedang. Di samping kolam renang ada rumah-rumahan beratap tenda. Rumah kecil ini dilengkapi tempat membakar ayam, roti, dll. Sepertinya inilah tempat Prof KD bersantai bersama teman-temannya. Kolam renang dilengkapi pengatur suhu dikendalikan energi surya.

KS datang dan menawarkan kami mandi. Kami menolak halus dengan alasan tidak bawa pakaian renang. Dia pergi, dan datang lagi dengan pakaian renang dan handuk. Kami tak kuasa menolak. Saya pun mencebur ke kolam renang. Kolam itu sebenarnya diisi air segar, tapi rasanya asin. KS menjelaskan bahwa kolam sengaja diberi garam karena bagus untuk kulit. Kami pun kecipak-kecipuk di kolam rumah mewah itu.

Tengah asik berenang, KS datang memberitahu makan siang sudah siap. Dia berpesan supaya kami tidak perlu ganti pakain, repot. Tapi kami adalah orang Indonesia tulen, tidak sopan makan jika tidak berpakaian lengkap.

Di meja makan, kami hanya menemukan piring untuk 6 orang dan beberapa panci. Rupanya sebagian tamu yang tadi mampir adalah para tetangga. Mereka sudah pergi. Tinggal kami berenam. Dalam hati saya berpikir, makan ala orang barat pasti tidak kenyang, buktinya hanya ada sedikit makanan di meja makan. Padahal perut terasa lapar sehabis berenang.

Setelah semua orang duduk, Prof KD menuangkan bubur terbuat dari gandum dan dicampuri dengan bumbu-bumbu dari tumbuhan ala vegetarian. Kami lalu melahap makanan itu. Saya campur dengan roti supaya lebih kenyang. Saya minta cabe supaya lebih nikmat. Prof KD mengatakan cabe miliknya adalah jenis terpedas di dunia. Dia mengingatkan saya supaya mencoba sedikit dulu. Ternyata ukuran pedas menurut orang bule tidak sama dengan pedas menurut saya. Lidah Sumatera saya minta lebih, tiga kali lipat dari ukuran yang membuat mereka jingkrak-jingkrak karena kepedasan. Itu pun hanya memberi saya sedikit rasa pedas. Prof KD, KS, M, dan J tercengang. Mereka memberi saya gelar The Sumatra Tiger untuk prestasi itu. Setelah bubur habis, saya masih merasa lapar dan berencana makan lagi begitu pulang ke rumah.

Tapi saya salah sangka. Rupanya yang tadi adalah makanan pembuka. Prof KD dan KS kemudian memberesakan meja dan membawa banyak makanan lain. Kali ini sebuah tempayan besar berisi udang galah. Di tempayan besar lain ada ikan yang panjangnya setengah meter. Ada juga dua mangkok besar kentang panggang dicampur bermacam-macam yang entah apa namanya. Juga ada mangga dicampur sejenis kuah. Prof KD menjelaskan bahwa udang itu khusus didatangkan dari sebuah daerah berjarak 600 km dari tempat tersebut. Sedangkan ikan salmon besar itu didatangkan dari Selandia Baru. Dia juga menjelaskan semua makanan lain, campurannya dan cara memasaknya. Intinya, semuanya halal dan dipesan khusus untuk kami. Kami merasa sangat diistimewakan. Sebagai hasilnya, saya makan lahap sekali. Sungguh enak. Gurihnya udang, bercampur nikmatnya ikan salmon dipadu dengan kentang panggang plus mangga berkuah manis, ditambah sambel sungguh pas di lidah dan perut lapar saya. Inilah makanan terenak saya rasakan sejak berada di benua ini.

Begitu selesai dengan menu utama, tamu bertambah dua orang. Juga sepasang ilmuwan. Suaminya profesor Biologi, istrinya ilmu kelautan. Di meja makan kini ada tiga professor terkemuka. Berulan-ulang mereka mengangkat gelas champagne dan kami mengangkat gelas jus buah, toast.

Karena ada makanan pembuka dan utama, tentu ada makanan penutup. Begitu yang sering saya lihat di film-film. Benar saja. Di meja setelah itu ada kue panggang besar, sejenis kue bolu tapi besar. Di masak di dalam oven dengan suhu sedang selama 6 jam. Warnanya coklat. Prof KD menjelaskan campuran roti itu. Lalu dia menyiramkan susu kental di atasnya. Piring kami masing-maisng diisi satu potongan besar. Nyam-nyam, enak. Bagi yang mau nambah, di meja masih banyak. Tinggal ambil.

Setelah menghabiskan makanan penutup, saya masih mau. Tapi perut saya benar-benar sudah penuh. Saya putusakan berhenti. Jika tidak bisa timbul masalah.

Acara selanjutnya adalah berenang. Semua orang mesti berpartisipasi. Tapi J yang orang China tidak bersedia walaupun sudah dipaksa, alasannya dia punya masalah kulit.

1081.jpgBerenang kali kedua jauh lebih asik, karena ramai. Di kolam terdapat tiga orang professor, dua orang mahasiswa, satu orang pengusaha, dan satu orang akuntan. Saya senang. Berenang adalah hobi saya. Canda demi canda membuat dua jam di dalam kolam tidak terasa. Saat berenang, kami makan buah cheri yang diletakkan di piring-piring kecil di pinggir kolam. Sesuatu yang hanya pernah saya lihat di film-film. Saat itu saya menyadari betapa ramah dan baiknya mereka, padahal mereka tidak pernah mengaji….

Lalu tibalah waktunya bagi kami untuk pamit karena harus mengejar bus. Tuan rumah melarang. Kami diminta jangan memikirkan bus karena mereka akan mengantar kami pulang. Tapi kami menolak. Tidak enak membuat mereka berjalan sejauh itu. Dengan mobil pribadi paling tidak perlu waktu dua jam pulang-pergi. Karena kami terus menolak diantar, mereka memberi alternatif kami diantar J dengan mobilnya sampai ke terminal bus. Kami bersedia, lalu kembali menyebur ke kolam renang. Mereka senang dan meminta saya berenang dari satu ujung ke ujung lain. Kecil. Saya pun diberi tepukan.

Saat tiba waktunya kami harus pulang, tuan rumah tidak bisa melarang lagi, karena kali ini kami tidak bisa dibujuk. Mereka melepas kami dengan memperlihatkan muka enggan berpisah. Kami disuruh berjanji akan kembali dan memasak masakan Indonesia untuk mereka. Kami pulang setelah mendapat pelukan hangat ala lebaran mereka. Tapi karena kami muslim mereka tidak mengcapkan “merry Christmas,” tapi diganti dengan “happy holiday.”

************

Satu pelajaran berharga yang saya dapatkan hari itu adalah tentang menjadi tuan rumah yang baik. Prof KD memposisikan dirinya ibarat panitia sebuah acara, dan kami adalah para peserta agung acara itu. Sebagai panitia dia sudah punya susunan acara yang padat untuk para tamunya, sehingga kami sebagai tamu merasa lima jam di sana berlalu dengan cepat, tidak ada waktu kosong, tidak membosankan sedikitpun. Prof KD mempersiapkan sesuatu secara maksimal.

Mengundang mahasiswa seperti ini lumrah dilakukan dosen-dosen di negeri ini. Bahkan saya mendapat cerita bahwa universitas memberi mereka budget untuk melakukan itu. Gunanya adalah supaya dosen mendekatkan diri kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak merasa ada jarak dengan dosen. Jika hubungan dosen-mahasiswa sudah berubah menjadi pertemanan, maka mahasiswa tidak akan segan-segan konsultasi ke dosen jika mengalami masalah dalam studi. Memang mereka membuat studi Master dan PhD sangat berat. Sehingga untuk melewati itu diperlukan hubungan khusus antara mahasiswa dan dosen supaya keduanya bisa bekerja sama untuk kesuksesan mahasiswa dalam studi.

Kini, teman saya makin mantap memanggil Prof KD dengan nama depannya, bukan dengan sebutan professor atau nama belakang.





Meja Dapur

22 12 2007

097.jpgPertama tiba di negeri Kangguru, saya mendapat tempat di Student Village alias asrama mahasiswa milik universitas. Sebenarnya tinggal di Student Village asik sekali, sebab di sana terdapat mahasiswa dari lebih 130 negara berbeda. Percampuran budaya seperti ini tentu sangat menarik. (Foto kiri: Student Village)

Tapi tidak ada satupun senior dari Indonesia yang merekomendasikan tinggal di sana. Alasannya, yang tinggal di Student Village sebagian besar adalah mahasiswa undergraduate. Mereka masih suka pesta-pesta dan menghabiskan waktu untuk hura-hura. Sementara mahasiswa postgraduate seperti saya perlu waktu dan tempat belajar yang tenang. Para senior mengakatan, “begitu kamu membuka buku, pintu kamarmu akan diketok temanmu ngajak jalan-jalan.” Karena orang baru, saya percaya saja, lalu minta bantuan kampus mencarikan tempat tinggal di luar kampus.

Dapatlah saya sebuah rumah yang terdiri dari tiga kamar. Teman serumah saya adalah seorang mahasiswa dari China dan seorang lagi dari Mauritius.

096.jpgTeman yang dari Muritius ini punya sifat ceroboh. Suatu hari dia memasak sesuatu menggunakan wajan. Setelah selesai memasak, wajan yang baru diangkat dari kompor diletakkannya di atas meja dapur, lalu ditinggal pergi. Karena masih panas, rupanya meja dapur yang dilapisi oleh bahan khusus hangus. Bagian yang terbakar itu tidak besar, seukuran bagian bawah gelas. Bagi saya, itu adalah kerusakan yang dapat dimaaafkan. Sengaja saya foto bagian meja yang rusak itu untuk memperlihatkannya kepada pembaca.

Tapi hal seperti itu ada hukumnya di negeri ini. Sesuai peraturan sewa-menyewa rumah, kesalahan seperti itu menjadi tanggungjawab anak kost. Dia harus memperbaikinya. Jika tidak, dia bisa berurusan dengan polisi. Minimal, dia akan di-black list oleh pemerintah kota. Apa akibatnya? Jika di-black list, dia tidak bisa menyewa rumah lain atau melanjutkan menyewa rumah sekarang sebelum melunasi hutangnya.

Berbeda dengan di dalam negeri di mana tukang meja dapat ditemukan di setiap sudut kota, di negeri ini sangat sulit menemukan table maker. Ibu kost memerlukan waktu dua bulan lebih mendapatkan orang untuk memperbaiki meja itu. Bahkan dia menelepon puluhan kali, kadang-kadang subuh, kadang-kadang larut malam, mencari table maker. Akhirnya table maker pun datang. Tugasnya adalah membuat perkiraan biaya perbaikan.

Kami terkejut mendengar biaya perbaikan yang disebutkan table maker. $ 1400 alias 11 juta rupiah lebih. Dengan uang sebesar itu bisa beli dua buah sedan di sini.

Teman saya yang bertanggungjawab membayar perbaikan meja itu terlihat amat sedih. Sebab uang sebesar itu setara dengan gaji dia bekerja part-time satu bulan lebih. Tapi apa mau di kata. Ke mana lagi harus mencari table maker lain?





Harga keselamatan.

17 12 2007

095.jpgDi depan rumah saya di Kuantan Singingi ada bekas gorong-gorong yang sudah ditimbun dan diaspal. Mungkin karena penimbunan kurang padat, aspal di atas bekas gorong-gorong tidak pernah bertahan lama. Dalam hitungan bulan setelah diaspal, di sana muncul lobang menganga. Semakin besar dan dalam, sebab kendaraan tak henti lewat di sana.

Kami melakukan berbagai hal untuk menutup lobang itu, sesuai kemampuan yang masyarakat miliki. Ada yang menimbun dengan pasir, kerikil, dan batu. Bahkan, ada juga yang mencoba dengan tanah. Tidak lupa, masyarakat melalui kepala Dusun melaporkan hal tersebut ke salah satu warga yang pegawai PU (kini berganti nama menjadi Kimpraswil), walaupun semua orang tahu bahwa sesungguhnya pegawai PU itu sudah tahu akan keberadaan lobang itu. Setiap hari dia lewat di sana.

Seingat saya, beberapa kali truk milik PU mampir di sana. Tapi apa yang mereka lakukan? Tak bisa dipercaya. Mereka menyiramkan tanah di sana, sebuah solusi percuma sekaligus mengherankan dilakukan lembaga pemerintah yang memiliki ahli bangun-membangun. Mereka pasti paham, bahwa tanah bukan solusi. Sebab dikenai hujan sekali saja, lobang itu kembali akan menganga lebat. Kepala Dusun sempat juga “protes” pada sang pegawai PU. Jawabannya sungguh-sungguh sudah diduga; tidak ada anggaran, dan masyarakat harus punya inisiatif-jangan mengharap pemerintah melulu. Lho, lalu apa arti inisiatif masyarakat selama ini. Terus, kalau begitu apa dong fungsi pemerintah??

Beberapa minggu sebelum saya meninggalkan kampung untuk mengadu nasib ke daerah lain, lobang itu akhirnya memakan korban. Pada suatu malam, seorang pengendara sepeda motor yang melaju kencang terperosok. Melihat nomor polisi kendaraan dan bawaannya, sepertinya dia tidak biasa lewat di sana. Dia tidak menguasai medan. Padahal di sana sudah ditanamkan kayu sebagai pertanda.

Setahun kemudian saya pulang kampung untuk lebaran. Lobang maut itu masih di sana. Salah satu keluarga saya bercerita bahwa korbannya sudah banyak; 5 orang. Dua tewas dan 3 masuk rumah sakit. Semuanya pengendara sepeda motor. PU beberapa kali menimbun, dengan tanah dan kerikil. Tapi selalu terlambat. Maksudnya, PU baru datang setelah ada korban. Setelah ditimbun dibiarkan lagi, lobang muncul lagi, dibiarkan, jatuh korban lagi, baru ditimbun lagi. Terjadi berulang-ulang sampai jumlah korbannya 5.

Saya terakhir pulang kampung Juni 2007. Saat itu lobang maut sudah diaspal bagus. Saya senang. Tapi agak khawatir sebab sudah terlihat keriput dan membentuk gundukan kecil, pertanda lobang segera menganga. Moga-moga tidak ada korban lagi.

Mari simak kisah dari Australia berikut, tepatnya dari kota Perth. Kisah ini saya baca di koran online lima bulan kemudian. Seorang wanita terperangkap di dalam mobilnya pada suatu pagi setelah mobil yang dikendarainya menabrak pohon. Beruntung wanita ini masih hidup. Bagaimana reaksi pemerintah alias pihak berwenang? Apakah mereka diam saja? Apakah mereka bilang tidak ada anggaran untuk membantu? Apakah mereka bilang masyarakat saja yang membantu? Tidak.

Tim penyelamat datang beberapa menit setelah kejadian. Mereka mendatangkan alat berat. Juga membawa sejenis pompa khusus yang akan digunakan untuk menguakkan bagian-bagian mobil yang ringsek dan menjepit wanita malang itu. Rupanya itu pun belum cukup. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan mendatangkan helikopter untuk melarikan korban segera ke rumah sakit. Saya kira hanya terjadi di film-film. Rupanya juga di kehidupan nyata. Berita langkapnya dapat dibaca di http://www.thewest.com.au/default.aspx?MenuID=145&ContentID=51197.

Begitu berbedanya orang melihat dan memberi harga pada “keselamatan.”





e-government (2)

13 12 2007

Tulisan ini masih tentang e-government.

087.jpgKarena sudah memasuki akhir semester, dan segera memasuki libur musim panas yang lamanya 2.5 bulan, saya berpikir saatnya untuk bekerja, making Australian dollars. Untuk bisa bekerja, perlu dua syarat. Syarat pertama, saya mesti mengganti status visa dari visa student tanpa izin kerja ke visa student dengan izin kerja. Syarat kedua adalah meminta nomor pokok wajib pajak (NPWP), namanya lebih singkat yaitu Tax File Number (TFN).

Kedua syarat itu sangat penting, sebab menyangkut status saya selaku pendatang di negeri orang. Saking pentingnya, kedua dokumen itu, masing-masing juga perlu syarat pengurusan yang lumayan banyak. Tapi anda akan heran membaca lanjutan kisah ini, karena ternyata kedua dokumen penting itu, yang punya banyak persyaratan, hanya perlu diurus dengan cara sederhana.

088.jpgKedua dokumen penting itu bahkan bisa saya urus dari kamar. Pertama, mengurus perubahan visa. Jam 12 malam menjelang tidur saya buka website Departemen Imigrasi Australia. Lalu masuk ke halaman perubahan visa. Di sana terdapat formulir yang kemudian diisi secara online. Setelah form diisi lengkap, saya tekan tombol Submit. Berarti pendaftaran saya sudah masuk. Saya pun berangkat ke peraduan. Mimpi jadi Spiderman, tapi takut melihat seorang preman memalak penjual bubur.

Jam 9 pagi besoknya saya buka internet dan menemukan sebuah email dari Departemen Imigrasi. Email itu berisi ucapan terima kasih telah mendaftar, mengatakan semua persyaratan sudah lengkap, kecuali satu, yaitu surat dari universitas menyatakan saya terdaftar selaku mahasiswa pada semester itu. Karena sudah belajar dari pengalaman sebelumnya, saya langsung kirim email ke International office di kampus minta buatkan surat tersebut. Kemudian saya pun mandi. Setelah mandi, saya sudah menemukan balasan dari International office, di sana ada file pdf surat yang saya minta. File tersebut saya forwardkan ke kirimkan dengan sedikit catatan ke Imigrasi, masik pakai email. Dua hari kemudian saya mendapat email bahwa visa saya sudah berubah, nomor visa baru adalah XXXXXX. Saya diminta datang ke kantor imigrasi kapan sempat untuk menempelkan visa baru ke passport dan membubuhkan tanda tidak berlaku ke visa lama.

Kembali saya dibuat kagum oleh proses sederhana dan cepat ini. Lho, bukankah perubahan visa itu perlu banyak dokumen sebagai persyaratan? Benar, tapi semua persyaratan itu sudah ada di file saya di kantor imigrasi sejak saya masuk ke negeri itu. Saya tidak perlu mengirimkan dokumen yang sama. Pikiran saya terbang ke kantor saya di Riau. Di sana, setiap dua bulan ada surat dari Bos A, atau Bos B, atau Bos C meminta biodata dosen/pegawai.

Ketika mengurus persyaratan kedua, yaitu Tax File Number, saya mengulangi proses serupa. Buka internet, mengisi form, submit, beberapa hari kemudian datang email bahwa saya sudah punya NPWP.

Kemudahan ini menimbulkan pertanyaan dalam pikiran saya, “apakah cara yang gampang, cepat dan murah ini” tidak bisa diterapkan di Indonesia?” Kalau bisa, betapa gampangnya mengurus SIM, Surat Kelakukan Baik, Kartu Pencari Kerja, KTP, KK, Akte Kelahiran, Surat Tanah, Surat Bukan Anggota PKI dan Partai Terlarang, Surat Setia Pada Pancasila, Surat Tidak Pernah Tersangkut Masalah Pidana, Surat Keterangan Ganteng, Surat Keterangan Sudah Sarapan, Surat Belum Mandi Pagi, Surat Keterangan Bisa Mengaji, Surat Keterangan ini, itu, dan banyaaaakkkk jenis surat lain yang mesti diurus setiap mau bikin SIM, Surat Kelakukan Baik, Kartu Pencari Kerja, KTP, KK, Akte Kelahiran, Surat Tanah, Surat Bukan Anggota PKI dan Partai Terlarang, Surat Setia Pada Pancasila, Surat Tidak Pernah Tersangkut Masalah Pidana, Surat Keterangan Ganteng, Surat Keterangan Sudah Sarapan, Surat Belum Mandi Pagi, Surat Keterangan Bisa Mengaji, Surat Keterangan ini, toloonnggggggg….

Cape deh.





e-government (1)

13 12 2007

085.jpgWarga negara maju sering mengeluh satu sama lain. Dalam mata kuliah Energy Policy saya sekelas dengan beberapa mahasiswa/i Eropa, Asia, Pasifik, Afrika dan tentu saja Australia. Jika waktu makan siang tiba, mahasiswa Australia biasanya pergi ke cafe kampus lalu makan roti plus sosis. Makanya saya makan siang lebih sering bersama teman-teman dari Eropa dan Afrika, karena mereka bisa dirayu untuk makan di Asian Food. selain itu, mereka senang makan di tengah lapangan sambil berjemur. Saya pun ikut-ikutan berjemur, seolah-olah di Pekanbaru kekurangan matahari hihihi.

Saat makan siang ini mereka selalu bergunjing. Macam-macam digunjingkan, mulai dari gadis-gadis Australia yang katanya tidak modis, air kran Australia yang berbau kaporit sehingga mereka tidak sanggup minum, rumah-rumah yang kurang pemanas saat musim dingin, sampai pada internet Australia yang ‘payah.’ Saya tentu protes. Sebab di Australia saya ‘bermandikan’ internet. Di kampus, saya punya ruangan dengan komputer tersambung internet. Di perpustakaan terdapat ratusan komputer yang semuanya tersambung internet. Di gedung-gedung lain juga terdapat belasan ruangan-ruangan komputer yang berisi puluhan komputer tersambung internet. Saat pulang ke rumah, di kamar pun ada internet. Jika jalan-jalan ke rumah teman, di sana juga ada internet. Saat nunggu bus di terminal, juga ada internet umum.

Kecepatan aksesnya pun mengagumkan. Tidak usah menyebutkan kecepatan internet di kampus yang luar biasa. Di kamar saya, untuk download file 5 Mb, saya hanya perlu waktu kurang dari setengah menit. Selama berbulan-bulan di sini, sambungan internet saya selalu oke, tak pernah putus. Biayanya pun murah, sebulah saya hanya membayar setara 6 kali makan di warung pinggir jalan, dapat unlimited access.

Tapi apa kata orang Eropa, “Australian internet is terrible.” Rupanya di Eropa mereka punya internet yang jauh lebih cepat dan jauh lebih murah. Jelas mereka ‘tersiksa’ dengan internet Australia.

Internet menjadi darah daging orang Australia. Hampir semua lembaga bisnis, kantor, rumah penduduk, dan organisasi punya website sendiri. Boleh dikatakan semua orang Australia punya alamat email dan mereka menggunakannya setiap hari. Kalau saya ingin tanya apakah udang yang baru dibeli di toko dekat rumah masih perlu dimasak atau langsung bisa dimakan, saya tinggal kirim email. Jawaban datang beberapa menit kemudian. Atau, ketika suatu hari jam 11 malam saya ingat bahwa flash disk (thumb drive) saya tertinggal di komputer pustaka di kampus, saya hanya perlu kirim email, mereka selamatkan, dan besok sudah bisa diambil. Atau, ketika saya perlu mencari rumah baru, saya hanya perlu buka internet, cari rumah yang kosong, kirim email ke pemilik/agennya, dibalas, bikin janji, ketemu, bayar, selesai. Dan banyak lagi contoh-contoh kecil bahwa internet telah menjadi bagian penting dalam hidup orang Australia.

Suatu hari saya perlu mengirim sebuah form ke kantor AusAid Jakarta (AusAid adalah lembaga yang membiayai kuliah saya). Saya datang ke International Office kampus, home base semua mahasiswa asing. Saya ketemu pegawai khusus yang bertugas membantu mahasiswa AusAid. Saya diberikan form yang akan dikirim ke Jakarta, lalu saya isi. Di bagian bawah saya lihat bahwa sebelum dikirim ke Jakarta, surat itu mesti diteken oleh staff Ausaid di Canberra (Jarak Perth-Canberra melebihi jarak Aceh dengan Papua Nugini). Saya serahkan form itu ke pegawai yang membantu saya dan saya bersiap-siap pergi. Dalam pikiran saya, perjalanan surat dari Perth ke Canberra dan kembali ke Perth minimal memakan waktu 1 minggu. Itu pun sudah saya hitung cepat. Sebab jika menggunakan logika Indonesia, surat dari Aceh yang dikirim ke Papua untuk diteken seorang pejabat dan dikembalikan lagi ke Aceh minimal perlu waktu setengah bulan.

Sebelum pergi saya tanyakan, kapan bisa saya ambil suratnya? Pegawai itu kelihatan bingung atas pertanyaan saya. Dia balas bertanya, “Apakah anda ada agenda lain dan tidak bisa menunggu?” Sekarang giliran saya yang bingung. “Menunggu?” Lalu saya tanya, “menunggu berapa lama?” Sambil membawa surat saya ke bagian dalam kantor dia bilang, “a couple of minutes.” Saya pun duduk menunggu, sambil menikmati foto gadis Jepang yang cantik dengan latar gunung Fuji pemandangan indah.

Sekitar 10 menit kemudian, pegawai tadi keluar membawa surat dan menyerahkan kepada saya. Di sana sudah ada tandatangan dan stempel orang Canberra. Saya kebingungan dan pergi dengan segumpal pertanyaan dalam pikiran. Bagaimana bisa secepat itu? Apakah kantor di sini punya stempeldan tandatangan orang Canberra? Kayaknya tidak mungkin.

Pengalaman ini saya ceritakan pada seorang teman sesama dari Indonesia, sesama mahasiswa AusAid. Dia sudah mengurus surat itu enam bulan sebelumnya. Dia mengatakan juga merasakan keheranan yang sama saat mengurus suratnya. Bedanya dengan saya, dia tidak tahan untuk tidak bertanya. Jawaban yang dia dapat adalah: form yang sudah dia diisi discan oleh pegawai tersebut, lalu diubah ke pdf dan dikirim via email ke Canberra. Karena saat itu adalah jam kerja, pegawai di Canberra tentu ada di kantor (tidak di warung kopi). Pegawai Canberra menerima surat itu, diprint, lalu diserahkan ke pejabat berwenang, ditandatangani, distempel. Lalu discan kembali, diubah ke pdf, dikirim ke Perth via email. Diterima di Perth, diprint berwarna sehingga kelihatan stempel dan tandatangan berwarna. Selesai. Semua proses itu memakan waktu sekitar 10 menit, bukan setengah bulan.

Saya terbengong-bengong, sekaligus terkagum-kagum. Tapi saya ini memang bebal, dan mengulangi kesalahan yang sama sehari kemudian. Saya mengirim surat itu ke Jakarta dengan biaya $18 atau sekitar Rp. 144 ribu. Lumayan besar. Setelah dikirim via pos, saya kirim email ke kantor AusAid Jakarta mengatakan bahwa surat sudah saya poskan. Jawabannya, “mengapa tidak discan saja, lalu pdf nya kirim ke sini.” Saya terhempas, ternyata begitu sulitnya merubah pola pikir. Pengalaman pertama tidak membuat saya saya sadar bahawa administrasi manual tidak lagi digunakan di negeri ini dan di lembaga milik pemerintah Australia seperti AusAid.

086.jpgInilah yang dinamakan e-government. Pemerintah Australia mengeluarkan uang jutaan dolar (miliaran Rupiah) untuk teknologi perkantoran yang mengagumkan itu.

Tapi di kampung saya Riau, definisi e-government agak beda. Pemprov Riau mengklaim bahwa mereka sudah menerapkan e-government. Apa buktinya? Buktinya, Pemprov Riau sudah punya website, dan isi websitenya diupdate terus. Sudah, itu saja. Berapa biaya yang dihabiskan untuk itu? Sama, miliaran rupiah (kalau tidak salah 4 miliar rupiah, dalam dua tahun anggaran 2001/2002 dan 2003/2004).

Pengalaman itu menjadi renungan panjang saya dan berpunca pada sebuah pertanyaan, ‘apakah cara yang efektif, cepat, dan murah itu tidak bisa diterapkan di Indonesia?” Jawabannya adalah “tergantung.” Tergantung apa? Tergantung apakah mau merubah paradigma tentang definisi surat dan definisi surat asli.

Jika surat masih didefinisikan sebagai kertas, dan jika berpindahnya surat berarti berpindahnya kertas, tentu cara seperti itu tidak laku. Atau, jika surat dikatakan ‘asli” jika di kertasnya ada tandatangan ‘basah,’ tentu cara itu juga tidak berguna.

Bagaimanapun, teknologi sudah menawarkan solusi, tinggal kita mau merubah diri atau tidak.





Eye contact.

13 12 2007

083.jpgEye contact alias bertatapan mata adalah penting dalam pergaulan. Dalam masyarakat barat, eye contact berkaitan erat dengan respect atau disrespect. Jika seseorang mengajak anda bicara tapi anda tidak melihat matanya, lawan bicara anda bukan hanya akan merasa tidak dihargai, bahkan bisa-bisa marah pada anda.

Begitu juga saat anda bersalaman. Ketika masih aktif di beberapa LSM di Pekanbaru, saya dan teman-teman sering mengadakan acara yang menghadirkan orang-orang yang punya jabatan atau status sosial tingkat tinggi, minimal untuk ukuran Riau. Saya sering memilih menjadi penerima tamu dengan alasan pekerjaan itu gampang, tidak perlu mikir macam-macam dibandingkan jadi pimpinan sidang, notulen, MC, dsb. Ketika tamu datang, penerima tamu akan menyalami mereka dan mengucapkan selamat datang. Pada tamu yang saya kenal baik, saat menyalaminya saya sering membisikkan beberapa kata yang bikin dia tergelak. Jika sudah begitu, sukseslah tugas saya sebagai penerima tamu yang menyenangkan.

Sebagian tamu tahu betul bahwa mereka orang penting. Tamu seperti ini kebanyakan tidak memandang, walaupun hanya sebelah mata, pada penerima tamu yang menyalaminya. Jika di sana ada orang yang dihormatinya, jangan harap dia akan memandang anda yang ‘hanya’ penerima tamu, dia akan menyalami anda tapi memandang pada orang yang dihormatinya itu, seakan-akan berkata, “saya tak butuh anda, yang saya butuhkan dia.” Awalnya saya jengkel pada orang-orang seperti ini, apalagi sebagian besar yang berperilaku seperti ini adalah orang-orang tanggung. Artinya jabatan tidak rendah tidak juga tinggi, atau BJP (baru jadi pejabat), atau OKB (orang kaya baru). Tapi lama-kelamaan, karena tetap hobby jadi penerima tamu, hal seperti itu jadi hiburan bagi saya. Biasanya saya dan teman-teman sesama penerima tamu akan menghitung berapa orang tamu yang melakukan hal seperti itu.

082.jpgDi masyarakat barat tidakan seperti itu tidak hanya dianggap tidak sopan, tapi kurang ajar. Di negeri ini sekat-sekat sosial hampir-hampir tidak ada. Walaupun anda penunggu meja hidangan, anda mesti dihormati. Anda dihormati bukan karena jadi penunggu hidangan, tapi selaku individu yang pasti punya kehormatan. Karena siapa sangka, pengurus teras sebuah LSM/organisasi yang menjadi tokoh kunci pada acara itu memilih menjadi penerima tamu atau penunggu hidangan untuk bersenang-senang?

Urusan eye contact ini juga terjadi saat seorang anak dimarahi orang tuanya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di Indonesia dan sebagian besar negara timur lainnya, jika seorang anak dimarahi orang tua, maka sang anak akan menundukkan kepala sebagai bukti bahwa dia menghormati orang yang memarahinya. Jangan sekali-kali menatap mata orang tua yang sedang marah sebab sang anak bisa-bisa dibentak, “kamu menantang saya?”

Sebaliknya, seorang anak di negara barat jika dimarahi justru akan menatap mata orang tuanya. Jika tidak, orang tuanya akan berkata, “tatap mata saya, kamu tidak mendengarkan saya ya?”

Eye contact justru bisa menjadi penentu kesuksesan anda jika melakukan presentasi. Seorang presenter yang sukses akan menatap mata para pendengarnya secara bergantian. Hal ini akan menimbulkan kesan pada pendengar bahwa pembicara memperhatikan dia, bahwa pembicara berbicara untuk dia. Dengan menatap mata pendengar, sang presenter juga menunjukkan bahwa dia punya kepercayaan diri tinggi. Bandingkan dengan presenter yang tidak berani menatap mata pendengarnya. Para pendengar akan menilai presenter tidak siap, tidak menguasai materi yang disampaikannya, sehingga presentasinya tidak menarik dan membosankan.

Lain lubuk lain ikannya.





Pilek

13 12 2007

Pilek adalah penyakit umum yang sering dialami orang yang hidup di negeri empat musim. Perth dan kota-kota di Australia Barat dikenal memiliki enam musim. Jadi di kota ini lebih gampang terjangkit pilek. Tanda umum pilek adalah bersin-bersin dan hidung meler. Di Australia dan kebanyakan negara barat lain, kalau tidak hati-hati menangani pilek anda bisa dianggap kurang sopan.

Di Indonesia adalah wajar jika anda bersin di dekat orang lain. Di lingkungan yang lebih menghargai kesehatan, anda dianggap sopan bila bersin sambil menutup mulut. Lain halnya di Australia. Di negeri ini saat bersin tidak cukup jika sekedar menutup mulut. Tapi anda juga mesti berusaha mengurangi suara yang dikeluarkan saat bersin. Makanya jangan heran jika anda mendengar bersin made in Australia adalah bersin yang ‘tercekik’ karena ditahan. Menahan suara bersin dianggap sopan. Sebaliknya, jika anda bersin dengan suara ‘bebas,’ anda dianggap kurang sopan. Apalagi jika bersin tanpa menutup mulut, bisa dianggap lebih tidak sopan.

080.jpgBagaimana kalau hidung meler. Di Indonesia saat musim pilek kita sering mendengar suara orang menarik lendir hidung kembali ke dalam hidung. Bunyi yang ditimbulkan adalah bunyi mengendus. Di Asutralia anda tidak bisa melakukan itu. Mengendus dianggap sebagai sikap tidak sopan jika dilakukan di dekat orang lain, misalnya di dalam kelas saat kuliah. Anda bisa kehilangan simpati dari orang lain jika melakukan yang satu ini.

Jadi bagaimana? Anda mesti punya tissue. Jika lendir itu ingin keluar, ya keluarkan saja. Tutupkan tissue di hidung anda, lalu hembuskan kuat-kuat. Lho, landir yang dihembuskan keluar lewat hidung kan menimbulkan suara khas, bagaimana ini? Di Australia hal itu tidak dianggap tidak sopan sama sekali. Itulah yang dilakukan semua orang. Bahkan hal yang sama dapat anda lakukan di tengah jamuan makan malam. Tidak apa-apa. Sebaliknya, hal semacam ini jangan anda lakukan di Indonesia. Anda bisa dianggap tidak sopan dan menjijikkan.

Lain lubuk lain ikannya..