Mitos Kebijakan Energi

12 01 2009

Persoalan krisis energi di Indonesia adalah tidak sederhana sehingga bisa dituntaskan dengan “satu sentuhan.” Masalah sudah terlalu kompleks, salah satu di antaranya adalah persoalan subsidi energi (khususnya BBM dan Listrik).

Masalah subsidi ini kian rimut karena terkait erat dengan wilayah politik. Maksudnya bergini. Dalam politik, merebut hati calon pemilih adalah faktor terpenting. Untuk meraih dukungan calon pemilih, apapun cara akan dilakukan. Salah satu cara menarik bagi incumbent adalah menurunkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) menjelang pemilu. Caranya ialah dengan menambah subsidi energi untuk masyarakat.

Di satu sisi, subsidi energi meringankan beban rakyat, dan meringankan beban rakyat memang sudah semestinya dilakukan pemerintah. Namun di sisi lain, subsidi punya efek domino yang cukup besar. Akibat negatif dari subsisi antara lain mendorong masyarakat untuk menghabur-hamburkan pemakaian energi fosil karena murah sebab disubsidi. Lemahnya budaya hemat energi berakibat pada degradasi lingkungan (peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer).

Akibat lain dari subsidi bahan bakar fosil adalah menghambat perkembangan energi terbarukan. Sayang, pemerintah kita belum punya skema subsidi dan insentif finansial lainnya untuk energi terbarukan. Sebagai akibat, harga energi terbarukan di Indonesia masih mahal dibanding energi fosil. Masih ada lagi beberapa akibat buruk daripada subsidi energi fosil, seperti membebani keuangan negara, dll.

Mestinya pemerintah memberikan subsidi bagi energi terbarukan dan mencabut subsidi untuk energi fosil. Jika ini dilakukan, maka posisi akan terbalik, harga energi fosil akan lebih mahal dari pada harga energi terbarukan, atau minimal sama.

Lho, mengapa pemerintah mesti kembali berlaku tidak adil dengan cuma memberi subsisi pada energi tebarukan? Memang sepintas kebijakan seperti ini terlihat tidak adil. Tapi, jika dilihat keuntungan lingkungannya, sebenarnya inilah yang adil. Konsumsi energi fosil dalam jumlah besar telah membuat lingkungan kita rusak parah. Tidak sedikit statistik yang mengatakan bahwa manusia kini bernafas dengan udara tercemar. Kita tidak menyadari ada bahaya besar di balik kebiasaan kita mengkonsumsi energi fosil dalam jumlah besar.

Tapi kan subsidi BBM dan listrik membuat rakyat senang, dan membuat rakyat senang adalah bagus? Nah, bingung kan?? Makanya di depan saya katakan masalah ini rumit.

Read the rest of this entry »





Lapangan Kerja Bidang Energi Hijau Terbuka Luas (Huge Potential for Green Energi Jobs)

5 01 2009

Pengembangan energi terbarukan (renewable energy) dipercaya sebagai salah satu solusi bagi pemanasan global (climate change), menuju hidup lestari (sustainable life) di muka Bumi. Berbagai negara, terutama negara-negara maju, telah memiliki kebijakan pengembangan renewable energy. Sebagai akibatnya, kucuran dana pemerintah pada bidang ini semakin besar, dan pada gilirannya, industri di bidang renewable energi pun berkembang pesat.

173Foto: Appoloalience

Efek positif dari kebijakan tersebut adalah tebuka lapangan kerja baru di bidang renewable energy dalam jumlah besar. Bulan Desember 2007, empat organisasi internasional merilis sebuah laporan mengenai pengaruh global dari ekonomi hijau (green economy). Laporan berjudul “Green Job: Toward Descent Work in Sustainable, Low Carbon World”  tersebut mengatakan bahwa jutaan peluang kerja baru di bidang teknologi hijau akan tercipta dalam satu dekade ke depan (Renewable Energy World, 2008). Empat organisasi yang mendanai pembuatan laporan tersebut  adalah Program Lingkungan PBB (UNEP), Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO), International Trade Union Confederation, dan International Organization of Employers. Laporan tersebut disusun oleh the Worldwide Institute dengan konsultan teknis Cornell University Global Labor Institute.

Salah satu kalimat menarik di dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip Renewable Energy World berbunyi: Ekonomi lestari (sustainable economy) tidak bisa lagi mengabaikan biaya-biaya sosial dan lingkungan sebagai akibat dari kegiatan pembangunan. Biaya-biaya kesehatan yang dibayar oleh masyarakat sebagai akibat dari polusi misalnya, mesti dimasukkan ke dalam harga produk yang dalam proses produksinya menyebabkan polusi tersebut.

174Foto: Ibabuzz

Menurut laporan ini, dari sektor renewable energy saja, 2,3 juta orang telah mendapatkan pekerjaan dalam beberapa tahun terakhir, dan potensi pertumbuhan lapangan kerja di bidang ini amat besar. Diperkirakan hingga 2030, sekitar 2,1 juta lapangan kerja di bidang energi angin akan terbuka, dan 6,3 juta di bidang energi surya. Secara total, di semua bidang renewable energy akan terbuka lapangan kerja hingga 20 juta.

Lapangan kerja di sektor bangunan hemat energi pun akan berkembang pesat. Di Eropa dan Amerika saja, diperkirakan akan terbuka peluang kerja baru di bidang ini hingga 3,5 juta. Sedangkan di negera-negara berkembang potensinya lebih besar.

73583136SG001_Germany_ContiFoto: Cache Daylife

Contoh di beberapa negara menunjukkan lapangan kerja hijau yang tersedia: 600 ribu di China (solar thermal), 200 ribu di Nigeria (biofuel), 900 ribu di India (biomass), 25 ribu di Afrika Selatan (supplai air), dll.

Catatan tambahan:

Di Indonesia, belum ada data (atau moga-moga saya yang belum tahu) mengenai lapangan kerja hijau (misalnya bidang energi terbarukan). Saya berasumsi bahwa lapangan kerja bidang ini di Indonesia belum berkembang. Penyebabnya karena belum ada kepastian mengenai pengembangan energi hijau di Indonesia. Memang sudah ada kebijakan yang mengatakan bahwa tahun 2020, sekitar 17% energi indonesia berasal dari sumber energi terbarukan. Namun yang jadi persoalan, antara peraturan dan pelaksanaan kadang-kadang tidak selalu selaras. Moga-moga kali ini beda.

Yang dibutuhkan Indonesia adalah kepastian hukum dari pengembangan energi terbarukan. Jadi bukan cuma target 17%, tapi disertai dengan langkah-langkah strategisnya. Hal lain yang diperlukan adalah adanya pasar bagi teknologi energi terbarukan untuk mendorong industri. Kedua hal ini memerlukan campur tangan pemerintah, sebab renewable energy sulit berkembang jika situasi pasar energi masih seperti ini, di mana subsidi untuk sumber energi fossil masih besar.





Gubernur Baru dan Listrik (Electricity and Riau Governors)

28 10 2008

Artikel ini diterbitkan RiauPos 28 Oktober 2008.

Suatu hari saya mengundang seorang professional dari Swedia ke UIN Suska. Saat presentasi tentang kondisi kelistrikan Eropa, dia menampilkan daftar pendek kejadian listrik padam di Eropa 10 tahun terakhir. Daftar itu lengkap dengan hari, tanggal, lokasi dan lama listrik padam. Rupanya di Eropa listrik padam termasuk kejadian langka, sehingga perlu dicatat. Lalu sepanjang apa daftar yang akan anda miliki jika diminta membuat catatan yang sama di Riau? Percayalah! Daftar anda akan lebih pendek, berisi: “di sini listrik padam tiap hari.” Semoga artikel ini dapat memberi ide pemula bagi pasangan Gubri terpilih untuk mengurangi krisis listrik Riau.

Kondisi Listrik Riau

Riau mengalami krisis listrik bertahun-tahun karena beban (kebutuhan pelanggan) lebih besar dari pada kapasitas listrik yang diproduksi. Menurut PLN Wilayah Riau, beban puncak adalah 268,5 MW (menjelang September 2008). Sedangkan suplai listrik hanya 230 MW. Sehingga dalam keadaan normal, defisit listrik Riau Daratan mencapai 20 – 40 MW. Defisit sewaktu-waktu bisa meningkat karena kontribusi sistem jaringan Sumatera Bagian Selatan dan Tengah (SumBagSelTeng) pada sub sistem Riau cukup besar, yaitu 35 % (PLN Wil. Riau). Jika salah satu pembangkit pada sistem SumBagSelTeng mengalami gangguan, berdampak langsung ke Riau. Sebagai contoh, kerusakan PLTU Ombilin di Sumbar tahun 2004 memperparah krisis listrik yang saat itu berlangsung di Riau (Kompas, 2004).

Begitulah kondisi listrik di Pekanbaru dan sekitar. Keadaan lebih buruk akan anda jumpai di daerah-daerah yang agak jauh dari Pekanbaru. Di Rokan Hulu misalnya, listrik bukan cuma sering padam. Saat menyala pun, masyarakat tidak bisa memanfaatkan listrik secara wajar. Kalau anda masyarakat kelas menengah ke bawah, jangan harap bisa menonton TV dengan nyaman, menyalakan pompa air listrik, apalagi AC atau kulkas. Bahkan lampu pun menyala redup. Negeri Seribu Suluk kini seakan butuh seribu ‘suluh.’ Saat anda masuk ke sebagian kampung-kampung, bukan hanya di Rokan Hulu, anda akan tertegun karena di sana justru tidak ada tiang PLN. Walhasil, masyarakat pun ‘membuat’ listrik sendiri dengan cara membeli genset.

Ada sedikit harapan di Pekanbaru dan sekitar beberapa tahun ke depan. Kawasan ini, karena tersambung sistem SumBagSelTeng, bisa mengambil manfaat jika ada penambahan pembangkit baru di sistem ini. Tapi ini bukan harapan besar. Sebab, jika cuma mengharapkan program rutin PLN, pertumbuhan pembangkit tidak akan mampu mengatasi kecepatan pertumbuhan pelanggan; baik rumah-tangga maupun industri.

Di kampung-kampung, kegelapan diperkirakan masih menyelimuti di tahun-tahun mendatang. Jumlah mereka tidak sedikit. Hingga 2005, menurut Indonesia Energy Statistics and Outlook 2006, sekitar 60% masyarakat Riau belum pernah menikmati listrik. Itulah mereka yang di kampung-kampung.

Berharap pada PLN?

Sulit berharap pada PLN. Perusahaan Listrik Negara kini menghadapi masalah lebih krusial seperti krisis listrik Jawa-Bali. PLN telah berusaha melakukan perbaikan melalui restrukturisasi internal. Wilayah-wilayah dan Cabang-cabang operasi baru banyak dibentuk. Swasta pun kini diijinkan ikut dalam bisnis listrik, walaupun tidak diijinkan bersaing pada posisi setara dengan PLN. Salah satu hasil yang dicapai adalah Riau kini punya kantor wilayah sendiri, memisahkan diri dari kantor lama di Sumbar. Pembentukan PLN Wilayah Riau telah menghasilkan perbaikan mengagumkan, seperti perbaikan pelayanan pada pelanggan dan peningkatan kepedulian PLN pada lingkungan hidup.

Namun yang diharapkan adalah restrukturisasi kelistrikan nasional, bukan cuma restrukturisasi PLN. Pengalaman banyak negara semisal Inggris, Australia, Singapura, dan lain-lain, telah membuktikan bahwa restrukturisasi kelistrikan secara nasional adalah solusi tepat. Jika dilakukan secara benar, restrukturisasi akan meningkatkan efisiensi perusahaan listrik, meningkatkan pelayanan masyarakat, dan mempertinggi keandalan suplai listrik. Restrukturisasi juga akan menciptakan pasar listrik kompetitif karena swasta dan PLN bisa bersaing secara adil. Konsekuensi logis adalah PLN tidak lagi menjadi Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan (PKUK) tunggal seperti kini. Hukum bisnis mengatakan; ketika pasar kompetitif tercipta, yang paling dimanjakan adalah pelanggan. Itulah sesungguhnya harapan rakyat.

Berharap pada Gubri terpilih

Tapi sudahlah! Restrukturisasi adalah kuasa Pemerintah Pusat. Lalu apa yang bisa dilakukan Riau? Guna meletakkan dasar kuat, pasangan Gubri terpilih perlu mendorong lahirnya semacam Perda tentang Rencana Pengembangan Kelistrikan Riau. Dulu, UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan telah mengatur hal ini melalui Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD). Sayang, UU tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi, sehingga UU lama (No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan) kembali berlaku. Di UU lama tidak ada ketentuan mengenai RUKD.

Namun daerah masih punya ‘celah’, yaitu UU 30/2007 tentang Energi. UU ini merekomendasikan daerah membuat Perda tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Berbeda dengan RUKD, RUED tidak hanya mengatur soal listrik, tapi seluruh jenis energi. Pasangan Gubri terpilih dapat mendorong kelahiran Perda RUED di mana terdapat bab yang ‘kuat’ tentang listrik, sambil menunggu janji pemerintah pusat menerbitkan UU Kelistrikan baru.

Yang dimaksud Perda RUED yang ‘kuat’ adalah practicable alias bisa diterapkan. Dengan syarat, masalah harus diidentifikasi secara tepat dan tawaran solusi langsung fokus pada masalah. Sebuah Perda ‘awang-awang’ berisi cita-cita terlalu tinggi hanya buang-buang energi, biaya, dan waktu. Perda ini mesti dirumuskan secara serius, bebas dari orientasi proyek pihak-pihak tertentu yang berpotensi mengorbankan isi. RUKD yang dulu pernah dibuat bisa digunakan sebagai awal pijakan, tentu setelah diperbaiki dan disesuaikan. Perbaikan misalnya dengan memperbaharui data dan usulan kebijakan, memasukkan faktor-faktor eksternal ke dalam pertimbangan, dan mengakomodasi perkembangan nasional dan global terbaru. Menurut saya, dua tahun masa jabatan adalah cukup bagi pasangan Gubri baru dan DPRD untuk melahirkan Perda ini. Setelah itu, mengacu pada Perda tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota bisa membuat Perda serupa.

Penutup

Listrik adalah lifeblood (darah kehidupan) bagi pembangunan. Namun masyarakat kita sudah terlalu lama kekurangan ‘darah’ satu ini. Akibat sosialnya besar. Tanpa listrik yang andal, kesejahteraan dan pendidikan masyarakat terhambat. Inilah waktu bagi Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota mengambil peran serius mengatasi masalah ini, dalam bentuk program-program kongkrit dan alokasi APBD. Masyarakat kita sudah kepayahan. Alasan lama yang digunakan Pemda untuk lepas dari pekerjaan ini, yaitu karena tanggungjawab kelistrikan berada pada PLN adalah benar, tapi kini tidak relevan lagi.

Artikel ini tidak dimaksudkan memberi solusi persoalan kelistrikan Riau. Masalah terlalu kompleks untuk dituntaskan di sini. Ini hanya sebuah awal. Kita menantikan ide segar dari pemimpin baru untuk membawa Riau keluar dari krisis listrik.***





Inggris Membentuk Kementerian Energi dan Perubahan Ikliam (The UK has Created an Energy and Climate Change Department)

7 10 2008

Baru-baru ini, pemerintah Inggris mengumumkan pembentukan Departemen Energi dan Perubahan Iklim (Department of Energy and Climate Change). Pembentukan departemen baru ini semakin memperkokoh posisi Inggris dalam memerangi perubahan iklim melalui pembangunan energi yang lebih sustainable (berkelanjutan).

Penggabungan Energi dan Perubahan Iklim di dalam satu departemen secara eksplisit merupakan pengakuan Inggris bahwa sektor energi (jika dikelola secara tidak tepat) memberi dampak buruk pada kesinambungan lingkungan hidup.

Salah satu turbin angin di Inggris (Foto: tournorfolk)

Melihat dari namanya, departemen ini kelak akan menjadi pusat pengembangan energi terbarukan (renewable energy) di Inggris. Atas inisiatif ini, dukungan positif mengalir dari industri energi terbarukan dan lambaga-lembaga lingkungan hidup. “Kalangan industri percaya bahwa pembentukan sebuah departemen yang menangani perubahan iklim dan suplai energi di satu tangan, adalah langkah tepat bagi Inggris untuk mencapai target energi terbarukan 2020,” kata Adam Bruce, Ketua British Wind Energy Association (BWEA).

Direktur Eksekutif Greenpeace John Sauven mengatakan, “Selama sepuluh tahun terakhir pemerintah Inggris terlihat sibuk sekali dengan isu-isu perubahan iklim, memerikan inspirasi pada kita tapi sesungguhnya minim aksi nyata. Namun, dengan menyatukan Energi dan Perubahan iklim, kita akhirnya menyadari bahwa perubahan iklim adalah ancaman di depan mata.”

Sumber: Renewableenergyworld

Bukan cuma Inggris

Inggris bukanlah negara pertama yang membentuk kementerian yang membidangi perubahan iklim dan energi terbarukan. Beberapa negara lain telah mulai lebih awal. Di India bahkan ada Kementerian Energi Baru dan Terbarukan. Di Australia, persoalan perubahan iklim dan energi terbarukan dikelola oleh Department of Climate Change, Departmen of Resources, Energy and Tourism, dan Department of Environment, Water, Heritage and Art. Di Denmark ada Minister of Climate and Energy. Di kebanyakan negara, pengembangan energi terbarukan berada di departemen terpisah. Namun demikian, banyak negara-negara maju, terutama anggota Organisastion for Economic Co-Operation and Developmnet (OECD) telah menunjukkan prestasi gemilan dalam mengembangkan energi terbarukan.

Sistem Photovoltaic di Kalbarri, Western Australia (Foto: worldofenergy)

Bagaimana Indonesia?

Indonesia punya potensi energi terbarukan yang besar.Sumber energi yang memiliki potensi terbesar adalah energi surya, panas bumi, biomassa, air, dan laut. Namun, aksi nyata masih terlihat amat kecil. Salah satu penyebab utama adalah tidak adanya lembaga yang memiliki kewenangan cukup dalam mengembangkan energi terbarukan. Topik energi terbarukan dibahas di beberapa institusi, antara lain:
– Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi pada Kementerian ESDM.
-Di Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PPDT), energi terbarukan hanya menjadi salah satu tugas Bidang Peningkatan Infrastruktur.
Pembangkit Listrik Panas Bumi di Dieng (Foto: heavypet)
Jika hanya diletakkan pada Sub Bagian dari Sub Bagian sebuah Sub Bagian sebuah Departemen, kapan energi energi terbarukan mendapat tempat yang layak dalam struktur energi nasional? Wallahualam. Mengingat besarnya potensi, kondisi lingkungan yang rusak parah, krisis energi, banyaknya daerah pedalaman yang belum dialiri listrik, Indonesia perlu mempertimbangkan untuk membentuk semacaman Kementerian Energi dan Perubahan Iklim, dan mengeluarkan urusan energi terbarukan dari Kementerian ESDM dan PPDT.
Ada yang ingin menanggapi? Silahkan beri komentar.




Al Gore tantang Amerika untuk menyediakan semua kebutuhan listrik dari energi terbarukan (Al Gore is challenging th US to produce all its electricity from renewable)

30 07 2008

Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat mengeluarkan tantangan bagi pemerintah negeri itu. Tantangannya adalah supaya Amerika, dalam 10 tahun ke depan, mulai memproduksi semua kebutuhan energi listriknya dari energi terbarukan sperti angin, surya dan energi hijau lainnya. Gore mengatakan bahwa transisi menuju energi hijau bukan hanya akan membantu menyelesaikan masalah energi dan ekonomi Amerika, tapi juga meningkatkan ketahanan dalam negeri karena tidak lagi tergantung pada minyak bumi dari negera lain.

Tantangan tersebut diungkapkan Al dalam sebuah konferensi enegi in Washington baru-baru ini. “So today I challenge our nation to commit to producing 100 percent of our electricity from renewable energy and truly clean, carbon-free sources within 10 years,” katanya.

Sebuah turbin angin di Denmark (Foto: got2begreen)

Al Gore dikenal luas karena telah menjadikan isu pemansan global sebagai kegiatan utamanya. Uahanya dalam mengkampanyekan bahay pemanasan global membawanya pada anugerah Nobel Perdamaian 2008.

“… di negara begitu banyak kesahalan yang terjadi bersamaan. Ekonomi kita makin memburuk, orang-orang menderita. Harga dan biaya listrik bensin melonjak. Pekerjaan makin sulit didapat, kehidupan keluarga memburuk,” kata Gore.

Gore mengajak semua orang Amerika untuk bekerja sama. “Amerika berhasil mengirim Neil Armstrong berjalan-jalan ke Bulan hanya delapan tahun sejak Presiden John F. Kennedy mencanangkan program tersebut. ” Artinya, jika kini transisi menuju energi hijau dimulai, dalam 10 tahun ke depan hasilnya sudah dapat dinikmati. Dia juga memberikan apresiasi pada dua calon presiden, Barack Obama dan John McCain yang sudah punya rencana dalam memerangi pemansan global. Sebaliknya, Gore mengkritik rencana Presiden Bush untuk membuka pemboran minyak lepas pantai baru guna mengatasi krisis energi.

Obama menyatakan dukungannya terhadap pernyataan Gore. Dia mengatakan bahwa Amerika tidak bisa lagi bergantung pada minyak bumi, tapi harus mengembangkan investasi untuk energi terbarukan. “Ini adalah strategi yang akan menciptakan jutaan peluang kerja baru dan memberikan dunia yang bersih dan aman bagi anak-anak Amerika,” kata Obama.

Source: (http://www.voanews.com/english/2008-07-17-voa51.cfm)

Rangcangan sistem surya untuk atap gedung (Foto: University of Michigan)

Dukungan kepada Gore juga disampaikan oleh Presiden The World Resource Institue, Jonathan Lash. Dalam pernyataan resminya Lash mengatakan “Pemanasan global dan ketahanan energi bukan hanya dilihat sebagai tantangan – tapi juga peluang.” Selanjutnya Lashmenegaskan “ Al Gore telah mengajak mkita untuk memikirkan masa depan anak-cucu kita. Amerika mesti mengganti depab dari ‘apa yang tidak bisa dilakukan’ menjadi ‘apa yang bisa dilakukan.’ Amerika telah menjadi pemimpin dalam banyak bidang teknologi selama 100 tahun belakangan, dan Amerika mampu melaksanakan tugas yang satu ini. SMasalah sesungguhnya bukan teknologi, tapi keinginan politik,“ pungkas Lash.

Source: http://www.wri.org/press/2008/07/jonathan-lashs-statement-vice-president-gores-repower-america-challenge.

Dalam bahasa yang sedikit berbeda, putra mantan presiden Amerika JF Kennedy, Robert Kennedy Jr. mengatakan bahwa Al Gore adalah orang pesimis dengan menentukan target 10 tahun. Menurut Kennedy, Amerika bisa mencapai cita-cita tersebut kurang dari 10 tahun.

Source: http://blogs.reuters.com/environment/2008/08/15/al-gore-pessimist/

Bagaimana Indonesia?

Indonesia merasa sudah berbuat besar dengan memasang target energi terbarukan 5 % tahun 2020, tapi gerakan ke arah itu belum terlihat nyata. Padahal sesungguhnya target 5 % terlalu kecil. Potensi besar yang dimiliki Indonesia memiliki peluang pada energi terbarukan jauh di atas 5 %.

“Kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam” (Salah satu bait dalam lagu Lancang Kuning).





Solusi berlabel Haram? (Anathema-labelled solution?)

14 05 2008

Oleh: Kunaifi

(Ditulis atas permintaan Tabloid Teraju)

Tidak mudah menjawab pertanyaan apakah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) solusi bijak persoalan listrik Indonesia? Adalah fakta bahwa sepertiga penduduk belum pernah menikmati listrik. Selain itu, pertumbuhan ekonomi cenderung bagus, jumlah penduduk bertambah, dan krisis energi tak kunjung menemukan solusi. Semua itu mengarah satu kesimpulan tegas, bahwa kita perlu pembangkit listrik kapasitas besar, dan segera. Tidak dapat dibantah, bahwa teknologi PLTN tersedia kapanpun dibutuhkan untuk mengatasi masalah itu. Alasan lain mengembangkan PLTN, teknologi ini bebas emisi karbon, serasi upaya dunia memerangi pemasan global. Maka bukan hanya Indonesia, sederet negara lain siap mengembangkan PLTN seperti Argentina, Bulgaria, Mesir, Rumania, Afrika Selatan dan Vietnam. Negara-negara yang sudah duluan, seperti Kanada, China, India, Jepang, Rusia, Amerika dan Korea berminat menambah kapasitas PLTN mereka.

Setelah terhenti sekitar empat puluh tahun, pembangunan PLTN di Semenanjung Muria kemungkinan dimulai 2010 dengan target operasi enam tahun kemudian. Empat pembangkit berkapasitas total empat ribu Megawatt listrik (MWe) atau 35 kali lebih besar dari PLTA Koto Panjang akan menopang pasokan sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali) sekitar 14 persen. Pro dan kontra mengemuka menyusul rencana ‘sensitif’ ini. Beberapa kali terjadi demonstrasi masyarakat Jepara menentang rencana pembangunan PLTN di wilayah mereka. Bahkan MUI Jawa Tengah mengeluarkan fatwa haram untuk PLTN. Pada artikel ini akan dikemukakan beberapa alasan mengapa banyak orang menentang PLTN.

Pertama, pada tahun 1986 terjadi kebocoran pada reaktor PLTN Chernobyl, Rusia. Apa akibatnya? William Sweet dalam buku Kicking the Carbon Habit mengutip temuan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang mengkaji masalah ini. Menurut IAEA, lima puluh orang tewas akibat radiasi tinggi setelah kecelakaan. Lalu, sekitar dua ribu kasus kanker Thyroid yang disebabkan iodine radioaktif berujung sembilan orang mati. Secara total, empat ribu manusia mati dapat dialamatkan pada kecelakaan PLTN Chernobyl. Bukan hanya itu, setelah duapuluh tahun kecelakaan, kini lima juta orang hidup di zona terkontamiasi. “Biaya ekonomi dari peristiwa ini tak dapat diperkirakan,“ kata Sweet.

Reaktor Chernobyl nomor 4 setelah kecelakaan (Foro: Answers.com)

Para pendukung PLTN mengemukakan statistik bahwa korban tewas akibat PLTN jauh lebih sedikit dibanding akibat pembangkit konvensional. Barangkali tidak ada yang salah pada klaim ini. Tapi, kelompok yang menolak PLTN mengatakan bahwa kecelakaan di pembangkit konvensional hanya menimbulkan efek pada kawasan terbatas. Jika waduk PLTA runtuh, misalnya, maka penduduk pinggir sungai di hilir waduk mungkin menjadi korban, lalu selesai. Tapi, jika reaktor PLTN Muria bocor, maka radiasi akan merambat di udara, menyebar ke mana-mana, hingga dapur rumah warga Jepara. Balanov, peneliti di IAEA mengatakan, kecelakaan Chernobyl, misalnya, melepaskan radioaktif ke udara mencakup beberapa negara Eropa terutama Belarus, Ukraina dan Rusia dengan luas lebih dari 200 ribu kilometer persegi, sekitar satu setengah kali luas pulau Jawa yang tahun 2005 berpenduduk sekitar 130 juta jiwa.

Peta level radiasi tahun 1996 – 10 tahun setelah kecelakaan (Foto:Wikimedia)

Kedua, persoalan sosial yang mengiringi pembangunan PLTN adalah fakta yang mesti diperhitungkan. Unjuk rasa masyarakat Jawa Tengah membuktikan bahwa megaproyek ini bermasalah dari sudut pandang sosial. Pendukung nuklir mengatakan, penolakan itu disebabkan warga belum paham manfaat dan keamanan nuklir. Sehingga, dengan sosialisasi lebih gencar, masyarakat akan menerima. Belum tentu! Ambil contoh. Sebuah survey di Nevada menyimpulkan, tujuh puluh persen responden menolak kawasan Yucca Mountain dijadikan tempat menyimpan limbah nuklir. Warga Nevada tidak awam tentang PLTN, sebab Amerika Serikat mengembangkan teknologi ini sejak puluhan tahun lalu.

Para ilmuwan tidak berhenti meneliti guna menghasilkan nuklir yang aman. Kini, tingkat kecemasan terhadap kecelakaan reaktor (termasuk jika diserang teroris) semakin menurun. Bahkan, dengan mengganti teknologi fisi menjadi fusi, keamanan PLTN diperkirakan meningkat tajam. Namun, ada persoalan lain yang belum ada jawabannya, yaitu limbah nuklir.

Limbah nuklir, dalam pandangan saya, adalah ‘senjata’ utama kelompok yang menolak PLTN. William Tester dan kawan-kawan di Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengatakan, hingga kini belum satu pun negara, termasuk negara nuklir utama (USA, Perancis, Jepang) yang mengantongi lisensi sebagai bukti bahwa mereka bisa menyimpan limbah nuklir secara aman. Padahal, HLW (High Level Wastes), yang merupakan limbah utama PLTN harus dikubur jauh-jauh di kawasan terpencil dan dijaga superketat. Sifat racun HLW bertahan selama ribuan tahun, walaupun setelah seribu tahun racunnya berkurang drastis. Tapi seribu tahun bukanlah waktu yang pendek jika digunakan memelihara racun.

Riset mengenai pembuangan limbah yang lebih aman juga terus dilakukan. Namun ada beberapa masalah yang masih menggantung. Antara lain, bagaimana kalau air tanah masuk lalu mengoksidasi pelindung limbah, sehingga air terkontaminasi, naik ke permukaan tanah dan dikonsumsi manusia? Atau bagaimana kalau terjadi getaran kulit bumi di lokasi penyimpanan sebagaimana sejak dulu membuat pusing Jepang? Jawaban masalah ini sesungguhnya gampang, yaitu dengan membuat fasilitas penyimpanan yang tidak memungkinkan kedua hal itu terjadi. Betul. Tapi siapa yang mampu membayar? Biayanya terlalu tinggi.

Drum limbah nuklir mengalami pelapukan di bawah laut (Foto:BBC London)

Ketersediaan lokasi penyimpanan limbah juga masalah besar. Sebagai contoh, awalnya lokasi pembuangan Yucca  Mountain adalah harapan besar. Karena, menurut Peter Beck di jurnal Anual Energy Review, sebelum lokasi Yucca ditemukan di Nevada, pencarian telah dilakukan selama 15 tahun di berbagai negara, tapi tidak ada tempat cocok. Biaya total juga tak tanggung-tanggung, sekitar 40 miliar dolar (setara Rp. 400.000.000.000.000), sama dengan 80 persen APBN Indonesia, hanya untuk satu lokasi penyimpanan. Ternyata, dengan uang dan usaha sebesar itu, Yucca hanya bisa menampung limbah 70 ribu ton. Sedangkan tahun 1999 saja, limbah nuklir dunia menurut IAEA 220.000 ton, dan terus meningkat karena dimana-mana orang ‘terjangkit demam PLTN.’ Memang, dengan teknologi terbaru, sekitar 30% limbah bisa didaur ulang. Tapi masih terlalu banyak yang tidak dapat di daur ulang.

Artinya, pertumbuhan PLTN terlalu cepat dibandingkan pertumbuhan tempat menyimpan limbahnya. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi masalah baru, yakni perang. Negara-negara kuat, ketika kesulitan mencari tempat di negara sendiri, mungkin saja menaklukkan negara lemah untuk dijadikan tempat membuang limbah. Sebagaimana kini ada negara ditaklukkan negara lain, disinyalir karena minyak. Walhasil, PLTN yang awalnya bertujuan damai, bisa punya efek bawaan yang tidak damai, yaitu perang. Akan semakin bahaya jika perang tersebut menggunakan nuklir sebagai senjata. Karena menurut Matthew Bunn, fasilitas PLTN dengan gampang bisa dimodifikasi untuk memproduksi senjata nuklir. Sehingga, jika pemerintah Indonesia sering mengatakan bahwa PLTN tidak sama dengan bom nuklir, saya justru ingin mengatakan, politik dan ekonomi bisa membuat PLTN menjadi bom nuklir.

Perlu juga dipahami, bahwa nuklir tidak termasuk energi terbarukan, walaupun Menristek Suyanto Kadiman selalu mengklasifikasi nuklir sebagai energi terbarukan. Menurut International Energy Agency (IEA), cadangan uranium dunia, sebagai bahan bakar nuklir, hanya berkisar 85 – 100 tahun lagi. Alias, “bersenang-senang 100 tahun, bersakit-sakit ribuan tahun dengan limbahnya.”

Jika memang setelah 100 tahun dunia kehabisan uranium, maka limbah nuklir benar-benar masalah besar. Karena, PLTN dimana-mana sudah ditutup karena kehabisan bahan bakar, tapi limbahnya masih harus dipelihara, secara sangat hati-hati dan biaya tinggi. Padahal, seratus tahun kedepan, mungkin saja generasi saat itu sudah menemukan sumber energi lain yang lebih baik, sebab kini riset ke arah itu sudah menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Jika hal itu terjadi, generasi saat itu akan makin makan hati. Mengutip Kahlil Gibran, “anak cucu tak kan sudi mengakui kita sebagai nenek moyangnya,” karena kita mewariskan racun pada mereka. Seolah kita lupa, generasi terdahulu tidak mewariskan masalah apapun pada generasi kita sekarang.

Adakah negara nuklir yang beralih ke energi lain? Ada. Sebagai contoh, Jerman segera menghentikan proyek nuklir. Tidak ada pembangunan reaktor baru, tidak ada impor uranium. Sebagai gantinya, Jerman mengambangkan tenaga angin. Sedangkan Swedia mengganti semua PLTN dengan biomas rendah karbon. Austria juga sudah memadamkan semua PLTN miliknya.

Turbin angin milik Siemens di Mecklenburg-Vorpommern, German (Foto: Siemens)

Sebagai kesimpulan, ide membangun PLTN Muria memang bisa menjadi solusi manjur bagi persoalan energi nasional. Namun demikian, untuk jangka panjang teknologi ini tidak bisa diandalkan. PLTN membawa dampak mengerikan bagi generasi nanti, saat kita sudah di dalam tanah, setelah kenyang menikmati hasil nuklir kita selama seratus tahun.***





International Renewable Energy Agency segera dibentuk (An International Renewable Energy Agency to be found)

27 04 2008

Pertengahan April 2008, pemerintah Federasi Jerman mengundang lebih 60 negara ke Berlin untuk membicarakan rencana pembentukan International Renewable Energy Agency (IRENA), sebuah organisasi negara-negara yang khusus mempromosikan penggunaan renewable energy ke seluruh dunia. Dalam pertemuan 10 – 11 April tersebut telah dibicarakan beberapa materi dasar seperti tujuan, kegiatan, pendanaan, dan struktur organisasi IRENA. (Foto: renewableenergyworld)

Isu lain yang mengemuka adalah tentang hubungan antara IRENA dan organisasi internasional lain yang bekerja di bidang energi. Beberapa negara mengingatkan supaya IRENA tidak menduplikasi kegiatan atau menjadi pesaing lembaga yang sudah mapan seperti International Energy Agency. Justru yang perlu dibangun adalah bagaimana IRENA bisa berjalan seiring lembaga lain secara harmonis.

“Promoting renewables must now become a global and universal priority, and IRENA is a necessary condition for that goal. If we intend to embark on the renewable energy revolution, we cannot do it without IRENA,” kata Bianca Jagger dari World Future Council.

Walaupaun International Energy Agency (IEA) telah membentuk Advisory Board on Renewables pada 1982, tapi dibutuhkan sebuah lembaga yang benar-benar fokus pada renewable energy, karena dunia menunggu terobosan besar. “IEA sudah disibukkan oleh masalah-masalah energy yang ada sekarang, dan tidak punya waktu mendorong pengembangan energi baru,” kata Hermann Scheer pendiri European Association for Renewable Energies.

IEA berkutat dengan pertanyaan mengenai suplai dan demand di pasar energi dengan fokus pada minyak. Hasilnya, IEA tidak mampu menangani detail-detail tentang ekonomi, politik, dan aspek sosial dari renewable energy. Selain itu, IEA lebih banyak menangani negara-negara dalam Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), berbeda dengan IRENA yang lebih bernuansa global.

IRENA akan bekerja beriringan dengan IEA dan organisasi internasional lain, sebagaimana International Atomic Energy Agency (IAEA) bekerja dengan IEA. IAEA didirikan pada 1950 atas keinginan mengekspoitasi peluang yang ditawarkan nuklir selaku sumber energi baru. Dengan alasan yang sama untuk renewable energi, IRENA akan didirikan, kata Jose Etcheverry dari World Council on Renewable Energy.

The Founding Conference akan diadakan di musim gugur 2008.

Beberapa negara yang sudah jelas-jelas menyatakan dukungan dan kesediaan menjadi anggota IRENA seperti Spanyol, India, Argentina, Mexico, Chili, Portugal, Africa Selatan, dll.

Bagaimana Indonesia Raya?

Sumber: renewableenergyworld





Is a pro-nuclear power generation policy necessary in the face of the Greenhouse problem?[1]

4 12 2007

By: Kunaifi

026.jpgIntroduction

Tester and others (2005, 2) declared that “sustainable energy is the engine of sustainable development.” The ongoing increases of energy demands are the evidence that energy, especially electricity, is required for energizing the development of the world. A simple energy analysis would come to a simple conclusion that this trend will continue into the future corresponding to the increasing of the world’s population and energy utilisations. In fact, the supply is insufficient for meeting the demand. At the same time, the global warming issue was developing, which is believed as the derivative of energy productions and consumptions. Both of these issues, the increasing demand of electricity and the warming of the globe, encourage many countries to introduce the nuclear power as one solution for two problems. This essay will discuss whether the pro-nuclear electricity generation policies necessary for resolving the greenhouse problems or not. The profile of the world’s nuclear-based electricity production will be presented briefly, followed by its advantages as well as some negative impacts can be addressed to nuclear sector. Finally, I will conclude that the pro-nuclear power generation policies are unnecessary for solving the greenhouse gasses emission problem.

027.jpgThe world nuclear profile

Nuclear power plant was firstly introduced in 1954 at Obninsk, in the former Soviet Union, which was producing 5 megawatts electricity (MW(e)) (IAEA, 2004). During five decades, the number of nuclear applications for electricity generation has been increasing drastically. By the end of 2006 there were 435 nuclear power plants (IAEA, 2007) within 30 countries, with a total production of 371.671 GW(e), contributed to about 16% of world total electricity production (IAEA, 2003). The U. S., the world’s largest producer of nuclear power, has been operating 104 nuclear plants with total net of 99.9 GW(e) (NEA 2007, 6). The other main nuclear producing countries are France which produces 63.3 GW(e) in 59 power stations, that contribute to 78.1 percent of its total electricity production; Japan (47.1 GW(e) production in 55 power stations; and Germany (20.3 MW(e) production in 17 power stations) (NEA 2007, 6).

The International Atomic Energy Agency (IAEA) (2007, 1) reported that 2006 had the highest nuclear power activities worldwide. In the future, some countries e. g. Argentina, Bulgaria, Egypt, Indonesia, Romania, South Africa and Vietnam are intend to start nuclear electric power programs as well, while others e. g. Canada, China, India, Japan, Russian Federation, The U. S. and the Republic of Korea will expand their existing nuclear power programs (NEA 2007, 6-7).

031.jpgThe advantages of nuclear power

There are several advantages of nuclear power technology. The first and foremost advantage is that the nuclear power has a low negative impact on the environment. According to ElBaradei (2004), nuclear power produces zero-carbon emission which is means it has no greenhouse gases problem. ElBaradei claimed that during entire nuclear power process, from uranium mining to the disposal of wastes, each kilowatthour produces 2-6 grams of carbon only, about equivalent as the emission of wind or solar electricity generation. Furthermore, France for example, which relies 78 percent of its electricity production on nuclear (IAEA 2007, 4), has contributed to approximately 20 percent of greenhouse gases reduction since 1973, while the record of world’s emission increases by 45 percent (Baptiste and Ducroux 2001, 1182). In the U.S., as another example, if all present coal-fired electricity were replaced with nuclear, the reduction of carbon emission would be down to a third (Sweet 2006, 181).

The huge available resources and the viability for reprocessing are the other advantage of nuclear power. Nuclear Energy Agency in 1997 estimated the world’s total nuclear potential resource of about 4.3 million tonnes (IEA 1998, 15). With the level of consumption of 100,000 tonnes per year (EIA 2002b; cited by Tester et al. 2005, 387), was estimated that the nuclear identified conventional resources, the total conventional resources, and the total conventional and unconventional resources will remain for 85, 270, and 675 years respectively, where counting was started by 2004 (IAEA 2007). Furthermore, practically, some parts of the nuclear waste do not need to be disposed because they can be “reprocessed for reused.” For instance, the total wastes in 1999 was about 220,000 tonnes, then approximately 75,000 tonnes (34 percent) had been reused (IAEA 2000, 12). If this is compared to oil and coal, nuclear offers a very tempting opportunity, because oil and coal have estimated to run-out in near years.

The other advantage of nuclear power is the relatively short time of construction and the long time of operation, compared to the largely magnitude of power can be generated. The IAEA members’ experience have proved that the total time, from the decision to operate a nuclear power plant to the state that a plant is ready for operation, took about 10 to 15 years only (IAEA 2007). This is very interesting, especially for some countries recently are facing the energy crisis. As an example, the estimated electricity demand of Indonesia’s Jamali Interconnected System[2] in 2025 will be 60,000 MW to 70,000 MW, while current production is 29,083 MW (41 to 48 percent) only (Haryadi et al. 2007, 18). Therefore, the Government of Indonesia and some pro nuclear analysts suggested that Indonesia must consider to build some big capacity of nuclear plants in near years to escape this problem. Beside that, the improvement of technology has considerably increased the nuclear power system life-time. In the U. S. and other countries have been applying nuclear early, for example, the licences that were for 40 years operation period, could be extended for another 20 years (Sweet 2006, 182).

028.jpgThe problems of nuclear power

There are several disadvantages of nuclear power technology that all refer to the security issue. To begin, the following finding of 2005 Chernobyl Forum of IAEA presented by Sweet (2006, 186) will describe the danger of nuclear power.

The latest authoritative international report on the consequences of Chernobyl estimates that 4,000 deaths will ultimately be attributed to the accident. There were about 2,000 additional cases of Thyroid cancer caused by absorption of radioactive iodine; 9 ended in death, 50 people died from exposure to very large quantity of radiation immediately after the accident. And, with 5 million people still living in contaminated zone 20 years after the accident, the cumulative economic cost of the disaster is virtually incalculable.

029.jpgThe impact of a leakage of a nuclear reactor, whether caused by the technical faults or even by terrorism attacks, may dilate and uncontrollable. Some nuclear supporters claimed that the accidents of nuclear power reactors caused less death then conventional electricity plants. Ferhat Aziz of Indonesian National Atomic Board (Batan) emphasised that since 1970 to 1992, the death caused by nuclear power plant accidents worldwide were only eight people per one million MW(e). At the same period, the death in other non nuclear power plants were 342 people per one million MW(e) (Haryadi 2007, 20). Probably there is nothing wrong with this statistics. But, we must be aware that the accidents in the conventional plants impact on the limited particular area only. On the contrary, according to Balanov of IAEA (2007, 7), the Chernobyl accident, for example, released the radioactive substances over a very wide area covering Europe, especially Belarus, Ukraine and Russia, more than 200,000 km2 in wide.

In the second place, the social resistances at the prospective nuclear plant and disposal areas, are the subsequent disadvantage of nuclear power. “The difficulty arises more from the reluctant of localities to accept the presence of disposal facilities than from the technical difficulties” (Tester et al. 2005, 394). Most people tend to refuse the plan of building a nuclear facility in their area. A poll in Nevada, for example, concluded that seventy percent of the surveyed inhabitant rejected a nuclear storage plan in Yucca Mountain (Gazette 2004). Indeed, a government has the power for enforcing their policy, but the social movements, especially of environmental groups, highly possible will not end.

033.jpgRelated to the rationale of the people’s opposition, I would argue that this objection is understandable. Tester at al. (2005, 394) claimed that there is no country obtains a licence to burry the HWL (high level wastes) following the standard’s requirement. Furthermore, the Uranium Institute’ investigation on four groups of nuclear wastes in 1991, as cited by Tester et al. (2005, 394), found that only LLW could be buried without dilution. Otherwise, other three classes have to be buried in under surveillance remote wastes repository areas. Tester et al. (2005, 396) also stressed that “the wastes can be remained toxic” for thousands of years, and the catastrophe would occur on a condition where the groundwater intrude the facility, then oxidize the waste package, and the impact would be the nuclear radiation contaminated water. In addition, a worse disaster would happened when a quake quiver the facility.

Another main problem of nuclear power is about providing sufficient place for wastes repository and also the issues correspond to bequeathing toxic to the next generations. Since most of the wastes must be seriously monitored for a very long period, it is very difficult to guarantee that our next millennia’s descendants would accept this ‘hot legacy’ and keep running it properly. Yucca Mountain was the big hope, because as confirmed by Beck (1999, 128), after 15 years searching in several countries, there was no proper place available for storage. The cost for preparing storage site is unbelievable. The total cost for Yucca for example, could be more than US$ 40 billion. However, in fact, this tremendous effort could only allocate some 70,000 tonnes of wastes. While, as the IAEA finding above, in 1999 alone some 220,000 tonnes of wastes must be disposed worldwide. Therefore, our toxic bequeaths would become a big burden to bear by our descendants for hundreds or thousands of year. They will not only “keep in tune” with our present waste treatment level of technology, which will probably too ancient for them, but also have to maintain many fragile repository sites.

024.jpgMoreover, the nuclear-politic close relationship raises another problem. Just date back to the cold war era when the U. S. and former Soviet Union had some difficulties of their relationship because of their nuclear programs (Kanet 2006). There was a simple premise at that time, ‘the more and the better nuclear technology did a country has, the stronger it was.’ Nowadays, the nuclear political crisis is going on, which involves North Korea, China, India, Iraq, Iran, etc. The nuclear producer countries tend to suspicious one and each other, even though some countries develop the civil-purposed nuclear program. The source of suspiciousness, according to Bunn (2001, 1), is because the nuclear reactors initially functioned as power plants can also be used to produce the nuclear weapon’s materials. Shortly, instead of building the good friendships among countries, nuclear programs, no matter their genuine purpose, often worsen the countries relationships.

030.jpgNow, rather than promoting the nuclear power through a series of policies, there are some other potential strategies of reducing the greenhouse gases; promoting the new and renewable energies, as well as energy efficiency movement.

Despite of its weaknesses, some countries have been optimistically aiming for replacing their nuclear power reactors with renewable energy. Sweet (2006, 183) presented that nuclear programs in Austria already has stopped, then will be followed by Sweden and Germany. Germany prefers to strengthen their wind turbine technology, while Sweden undoubtedly, believes they will succeed replacing their nuclear reactors with carbon-neutral biomass electricity generators. Renewables are such old technology that nowadays is reborn with its new modern ‘face.’ Recent researches and developments of new and renewable energy technologies have been achieving convincingly and significantly improvements, not only in terms of the efficiency for extracting the nature power to become electricity, but also in terms of the costs that decrease significantly. Renewable energy is an appropriate option for energizing rural areas. While the new energy technology, for example hydrogen and bio-fuel, can be used for running generators in the cities. If they now are able to run the automotives, of course, they are able to run electricity generators as well.

025.jpgConclusion

To conclude, the idea to govern the policy that supports the development of nuclear power in order to reduce the greenhouse gasses emission is not a wise option, because the high rate of nuclear development would bring some serious problems, even though nuclear power offers some advantages. The development of new and renewable energy sectors is more preferable. Even though this option still requires the technological improvement to meet the acceptable efficiency and cost, new and renewable energies offer a low-carbon emission option as nuclear does, but do not have any problem with security and disposal issues as does nuclear. Nature offers the smooth way, so why do not we welcome it?

References

Balanov, M. I. 2007. The Chernobyl Forum: Major Findings and Recommendations. Journal of Environmental Radioactivity 96 (1-3): 6-12. ScienceDirect. http://0-www.sciencedirect.com.prospero.murdoch.edu.au/science/journal/0265931X (accessed 4 September 2007)

Baptiste, P. J., Ducroux, R. 2001. Which Role for Nuclear Power in the Battle Against Global Warming? The French Perspective. Proceedings of the 5th International Conference in Greenhouse Gas Control Technologies.

Beck, W. Peter. 1999. Nuclear Energy in the Twenty-First Century: Examination of a Contentious Subject. Annual Review of Energy and Environment 24: 113-137. Annual Reviews. http://0-arjournals.annualreviews.org.prospero.murdoch.edu.au/loi/energy?cookieSet=1 (accessed 3 September 2007).

Bunn, Matthew. 2001. Civilian Nuclear Energy and Nuclear Weapons Programs: The Record. http://ocw.mit.edu/NR/rdonlyres/Nuclear-Engineering/22-812JSpring2004/DA39D9C3-72E5-426E-840C-712594207E23/0/prolif_history.pdf. (accessed 4 September 2007).

El Baradei (2004). Nuclear Power, an Evolving Scenario. IAEA Bulletin 46(1): 5-8. http://www.iaea.org/Publications/Magazines/Bulletin/Bull461/index.html (accessed 15 August 2007)

Gazette, Reno. 2004. Most Nevadan Oppose Yucca Plan, Pool Says. http://www.rgj.com/news/stories/html/2004/12/19/87984.php?sps=rgj.com&sch=LocalNews&sp1=rgj&sp2=News&sp3=Local+News&sp5=RGJ.com&sp6=news&sp7=local_news (accessed 3 September 2007).

Haryadi, Rohmat., M. Agung Riyadi, and Syamsul Didayat. 2007. Tarik Ulur Nuklir Muria. Gatra Magazine, 18 July 2007:17-20.

International Atomic Energy Agency. 2000. Climate Change and Nuclear Power. http://www.iaea.org/Publications/Booklets/ClimateChange/climate_change.pdf (accessed accessed 10 August 2007)

International Atomic Energy Agency. 2003. Country Nuclear Power Profiles. http://www-pub.iaea.org/MTCD/publications/PDF/cnpp2003/CNPP_Webpage/PDF/2003/index.htm (accessed 17 August 2007)

International Atomic Energy Agency. 2004. From Obninsk Beyond: Nuclear Power Conference Looks to Future. http://www.iaea.org/NewsCenter/News/2004/obninsk.html (accessed 16 August 2007).

International Atomic Energy Agency. 2007. Nuclear Technology Review 2007. http://www.iaea.org/Publications/Reports/index.html (accessed 16 August 2007).

International Energy Agency. 1998. Nuclear power. Sustainability, climate change and competition. Paris Cedex: OECD Publications.

Kanet, E. Roger. 2006. The Superpower Quest for Empire: The Cold War and Soviet Support for ‘Wars of National Liberation.’ Cold War History 6 (3): 331-352. informaworld. http://0-www.informaworld.com.prospero.murdoch.edu.au/smpp/title~content=t713634851 (accessed: 2 September 2007).

Nuclear Energy Agency. 2007. NEA 2006 Annual Report. NEA Publications http://www.nea.fr/html/pub/welcome.html (accessed: 2 September 2007).

Sweet, William. 2006. Kicking the carbon habit: Global warming and the case for renewable and nuclear energy. New York: Columbia University Press.

Tester, W. Jefferson, Elisabeth. M. Drake, Michael J. Driscoll, Michael W. Golan, William A. Peters. 2005. Sustainable energy, choosing among options. Cambridge: Massachusetts Institute of Technology Press.

[1] This essay was one of my assignments of the “Energy Policy” course in the first semester of my Master study at Murdoch University, WA.

[2] Jamali Interconnected System covers islands of Java, Madura, and Bali that consume 60 percent of Indonesia’s electricity production (Haryadi 2007, 20).